INformasinasional.com, MEDAN – Sidang diruang Cakra 9 Pengadilan Tipikor Medan itu berlangsung tegang. Kamis (11/9/2025) siang, wajah dua terdakwa yang duduk dikursi pesakitan sama-sama muram. Bukan hanya karena vonis penjara yang sebentar lagi dijatuhkan, tapi karena darah yang mengikat keduanya, yakni ayah dan anak, Tengku Paris dan Tengku Ananda.
Majelis hakim akhirnya mengetuk palu. Ketua KONI Langkat periode 2019–2023 itu, yang dulu dielu-elukan sebagai “bapak olahraga” Langkat, dijatuhi hukuman 3 tahun penjara. Sedangkan putranya, yang semula menjabat Wakil Bendahara lalu, naik menjadi Bendahara KONI Langkat, harus menerima hukuman lebih berat, yakni 6 tahun bui dan kewajiban membayar uang pengganti Rp1,41 miliar.
“Perbuatan para terdakwa tidak sejalan dengan semangat pemberantasan korupsi. Mereka menyalahgunakan kewenangan, jabatan, dan kesempatan yang ada,” tegas Hakim Ketua As’ad Lubis dalam amar putusannya, didampingi dua hakim anggota, Cipto Hosari Nababan dan Ibnu Kholik.
Kasus ini bermula dari dana hibah KONI Langkat tahun anggaran 2021–2023. Jumlahnya Rp1.415.885.000. Anggaran yang semestinya digunakan untuk membiayai keperluan cabang olahraga, pembinaan atlet, hingga mendukung kompetisi daerah, justru menguap tanpa arah.
Dua auditor independen, Mangasa Marbun dan Binsar Sirait dari Kantor Akuntan Publik Ribka Aretha & Rekan, yang dihadirkan dipersidangan, membongkar fakta mengejutkan, dana hibah itu tidak hanya berhenti ditangan dua terdakwa. Ada aliran uang yang mengalir ke pihak-pihak lain. Nama-nama itu belum terungkap ke publik, tapi keterangan auditor jelas memberi sinyal, perkara ini ibarat gunung es.
“Dana hibah itu seharusnya memicu gairah olahraga Langkat, melahirkan atlet, dan membiayai kompetisi. Tapi yang terjadi justru sebaliknya, olahraga di Langkat mati suri,” kata salah seorang pegiat olahraga di Stabat, saat dimintai tanggapan seusai sidang.
Vonis Jomplang, Ayah Dilindungi, Anak Jadi Tumbal
Putusan majelis hakim menghadirkan ironi. Sang ayah, Tengku Paris, dinilai tidak menikmati keuntungan pribadi. Faktor usia lanjut dan sikap sopan dipersidangan menebalkan pertimbangan meringankan. Ia bebas dari kewajiban membayar uang pengganti.
Sebaliknya, sang anak, Tengku Ananda, dipaksa menanggung seluruh kerugian negara. Jika sebulan setelah putusan berkekuatan hukum tetap ia tak mampu membayar Rp1,41 miliar, seluruh harta bendanya akan disita. Bila harta tak mencukupi, vonis tambahan 2 tahun penjara menanti.
“Hal yang memberatkan, terdakwa Ananda tidak mengembalikan kerugian negara,” ujar hakim.
Diluar sidang, beberapa aktivis antikorupsi di Sumatera Utara menyindir putusan ini sebagai bentuk “keadilan jomplang”. Aneh, ketua organisasi yang memegang kewenangan justru bebas dari beban uang pengganti, sementara bendahara dipaksa menanggung semua kerugian.
Vonis ini lebih ringan dibanding tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) M Syakdan Nasution dari Kejari Langkat. Paris sebelumnya dituntut 3,5 tahun, sedangkan Ananda 6,5 tahun. Keduanya juga dituntut membayar denda ratusan juta rupiah.
Meski begitu, JPU belum puas. Mereka menyatakan masih mempertimbangkan langkah banding. “Kami punya waktu tujuh hari untuk menyatakan sikap,” kata Syakdan singkat.
Drama dipengadilan ini juga menghadirkan dimensi emosional. Dibalik jeruji, hubungan ayah-anak diuji diruang sidang. Keduanya kerap tampak saling melirik, seakan ingin berbicara, namun tertahan oleh formalitas persidangan.
Kasus ini bukan hanya perkara hukum, tapi juga tragedi keluarga. Bagaimana mungkin dana yang seharusnya untuk membiayai atlet, justru menyeret ayah dan anak ke penjara ?
Kasus ini menyisakan pertanyaan besar. Mengapa praktik korupsi dana hibah begitu mudah berulang, dari KONI hingga organisasi masyarakat lainnya? Apakah sistem pengawasan lemah, atau ada pola yang sengaja dipelihara?
Akibat lemahnya sistem kontrol membuat dana hibah selalu menjadi bancakan empuk. Ketiadaan mekanisme pengawasan melekat, laporan pertanggungjawaban formalistis, dan campur tangan politik menjadikan dana hibah ladang korupsi.
Bagi masyarakat Langkat, vonis ini hanyalah setengah langkah. Mereka menuntut penegak hukum menggali lebih dalam, terutama soal aliran dana yang disebut auditor ke sejumlah pihak lain.
Jangan hanya ayah dan anak yang jadi tumbal. Bongkar siapa saja yang ikut kecipratan dana hibah ini.
Putusan pengadilan memang sudah dijatuhkan, tapi pertanyaan publik masih menggantung. Apakah vonis terhadap Tengku Paris dan Tengku Ananda akan menjadi pintu masuk mengungkap jaringan korupsi hibah yang lebih besar, atau sekadar menutup buku dengan dua nama saja? (Misn’t)