INformasinasional.com, Langkat – Aroma kegaduhan menyeruak dari jantung ekonomi rakyat, Pasar Tradisional Tanjung Pura. Puluhan pedagang yang kesehariannya menggantungkan hidup dari denyut pasar itu, Kamis (21/8/2025), mendatangi kantor DPRD Kabupaten Langkat untuk mengadukan persoalan serius yang mereka hadapi.
Kedatangan mereka tidak main-main. Dengan wajah penuh kegelisahan, para pedagang diterima langsung oleh Ketua DPRD Langkat Sribana Perangin Angin, didampingi Wakil Ketua DPRD Romelta Ginting serta Anggota DPRD Rahmad Rinaldi. Aduan itu pun sontak membuka fakta mencengangkan: adanya dualisme kepengurusan pengelola pasar dan biaya pengelolaan yang mencekik leher pedagang.
Koordinator pedagang, Ilyas Sembiring, menyuarakan keresahan kolektif pedagang yang kian lama kian tak tertahankan.
“Dengan adanya dualisme kepengurusan ini, kami pedagang jadi korban. Biaya tinggi, aturan tumpang tindih, dan suasana pasar menjadi tidak kondusif. Kami hanya ingin berdagang dengan tenang, nyaman, dan aman,” tegas Ilyas lantang.
Para pedagang menilai, pasar yang seharusnya menjadi pusat ekonomi kerakyatan kini justru berubah menjadi arena tarik-menarik kepentingan dua kubu pengelola. Kondisi itu menimbulkan keresahan, bahkan berujung pada dugaan praktik intimidasi serta pengutipan liar yang memberatkan pedagang kecil.
Ketua DPRD Langkat, Sribana Perangin Angin, dengan nada keras menegaskan bahwa pemerintah tidak boleh tinggal diam. Ia meminta Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) segera turun tangan untuk menengahi konflik yang kian memanas.
“Disperindag jangan menutup mata. Ambil kebijakan secepatnya agar tidak terjadi kegaduhan. Forkopimcam, Satpol PP, semua harus ambil peran. Jangan ada pihak yang berlindung di balik nama organisasi lalu menindas masyarakat kecil,” tegas Sribana berapi-api.
Sementara itu, Wakil Ketua DPRD Romelta Ginting, menilai akar masalah ada pada ketidakkompakan pengurus pengelola pasar. Menurutnya, kegagalan ini telah memicu mosi tidak percaya, bahkan membuka ruang munculnya dugaan intimidasi hingga pungutan tak wajar yang menyengsarakan pedagang.
“Pemerintah harus memfasilitasi musyawarah. Pengelola lama harus legowo, kembalikan ke pedagang untuk memilih pengurus baru yang benar-benar kredibel,” ungkap Romelta tanpa tedeng aling-aling.
Anggota DPRD dari Fraksi PPP, Rahmad Rinaldi, menambahkan bahwa pertemuan ini bukan sekadar forum aduan, tetapi momentum penting untuk mencari jalan tengah. “Pedagang dan pengelola harus duduk bersama. Tujuan kita satu: menghadirkan Pasar Tradisional Tanjung Pura yang lebih sehat, tertib, dan benar-benar pro rakyat,” tandasnya.
Pertemuan yang dihadiri Kadis Perindag, Camat Tanjung Pura, Satpol PP, Pengurus APPTSI, serta puluhan pedagang itu berlangsung cukup panas. Adu argumen pun sempat mewarnai ruang rapat, menggambarkan betapa peliknya persoalan dualisme pengelolaan pasar ini.
Di luar gedung DPRD, beberapa pedagang bahkan menyuarakan ketidakpuasan mereka dengan nada keras, menegaskan bahwa jika persoalan ini tidak segera diselesaikan, mereka siap melakukan aksi lanjutan.
Pasar tradisional bukan sekadar tempat transaksi jual beli, melainkan urat nadi perekonomian masyarakat kecil. Ketika pengelola saling berebut pengaruh, maka yang paling menderita adalah pedagang kecil yang menggantungkan hidup dari setiap rupiah hasil dagangan.
Kini, bola panas ada di tangan pemerintah daerah. Mampukah mereka mengurai konflik ini sebelum semakin membara? Atau justru membiarkan pedagang kecil terhimpit oleh kepentingan segelintir kelompok?
Yang jelas, mata publik kini tertuju pada langkah tegas Disperindag dan DPRD Langkat. Pedagang menanti bukti nyata, bukan sekadar janji manis.(Misno)
