INformasinasional.com-MEDAN. Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Sumatera Utara mengecam tindakan paksa oleh Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Karo, Provinsi Sumatera Utara yang menggusur Lahan Masyarakat Adat Desa Mbal-Mbal Petarum (Simantek Kute) di Kecamatan Laubaleng, Kabupaten Karo, Senin (13/3/2023), sekitar pukul 11.50 WIB.
KontraS menilai, penggusuran tanah Adat Mbal-mbal Petarum, merupakan satu bukti kebijakan ugal-ugalan merampas hak ulayat
Penggusuran itu berujung kericuhan aparat dengan masyarakat. Aparat berbenturan dengan masyarakat. Mereka terlibat aksi saling dorong. Masyarakat ingin tetap mempertahankan tanah adatnya. Menolak penggusuran yang dilakukan.
Pemkab, yang berdalih, penggusuran tanah seluas 682 hektar tersebut dilakukan karena sudah ditetapkan sebagai wilayah penggembalaan umum, sesuai Peraturan Daeran Pemkab Karo No. 3 tahun 2021 Tentang Penggembalaan Umum.
Nahasnya, pembentukan Perda tersebut malah tidak melibatkan partisipatif masyarakat. Namun, upaya pembuatan ruang dialog tidak
pernah diindahkan oleh Pemkab.
“Pemkab lupa area penggembalan umum yang nantinya untuk kepentingan publik itu justru
merampas hak masyarakat adat atas tanah mereka sendiri. Artinya, hak masyarakat adat untuk hidup dan tinggal nyaman tersebut bukanlah kepentingan publik yang harus diakui
dan dipertahankan oleh Pemkab Karo,” tegas, Rahmad Muhammad, Koordinator KontraS
Sumut, melalui siaran Pers yang diterima INformasinasional.com, Senin, malam.
Menurut KontraS Sumatera Utara, penggusuran lahan secara paksa tersebut justru menimbulkan potensi kekerasan dan perampasan hak-hak masyarakat. Pertama hilangnya hak atas tanah dan tempat tinggal
untuk hidup nyaman, dan hilangnya mata pencaharian.
Kedua, hak menikmati fasilitas publik hilang begitu saja karena proses eksekusi; sekolah, puskesmas, rumah ibadah (gereja
dan masjid), serta administrasi kependudukan akan berantakan.
Ketiga, hak atas akses dan
informasi terhadap masyarakat atas kepemilikan lahan dikesampingkan dalam pembuatan
perda tersebut.
Keempat, perlindungan atas tanah adat yang seharusnya diakui oleh Pemkab seolah dianggap tidak penting.
Kelima, penggusuran yang berakhir ricuh menimbulkan potensi kekerasan
fisik terhadap masyarakat. Terakhir, soal hak-hak perempuan yang harus dilindungi saat konflik lahan kerap dianggap tidak penting dan luput diketahui.
Rahmad menambahkan, berbagai risiko yang timbul baik kekerasan dan perampasan hak ulayat membuktikan bahwa Pemkab Karo tidak memiliki keberpihakan masyarakat adat.
“Kecacatan dalam proses pembentukan Perda menimbulkan banyak persoalan dan korban. Pemkab malah menutup mata dan telinganya atas jeritan masyarakat. Sampai – sampai mediasi yang dilakukan satu jam sebelum penggusuran tidak diindahkan oleh Bupati Kabupaten Karo, Cory S Sebayang, untuk kekeh melakukan eksekusi lahan,” ujar Rahmad.
Dari pemantauan KontraS Sumut, kericuhan saat proses penggusuran lahan tersebut, melibatkan 350-an personil keamanan dari satuan TNI, Kepolisian, dan Satpol PP dan
stakeholder lainnya. Dua ekskavator yang diturunkan ke lokasi merusak lahan pertanian masyarakat.
Melihat situasi ini, KontraS Sumut mendesak agar Pemkab Karo menyelesaikan polemik secara arif dan bijaksana, dan memfasilitasi forum dialog dengan masyarakat. Kedua,
lakukan pengkajian ulang (revisi) perda yang menetapkan Mbal-Mbal Nodi sebagai kawasan Pengembalaan Umum harus mengacu pada Peraturan Menteri Pertanian No 17 Tahun 2021.
Ketiga, mendorong berbagai pihak seperti Komnas HAM, Pemerintah Provinsi Sumatera Utara, DPRD Provinsi, atau bahkan gugatan hukum untuk membatalkan Perda, kata Rahmat lagi.***
Editor : Misno