INformasinasional.com, JAKARTA — Deretan angka kematian yang kian memanjang dari tiga provinsi di Sumatera kini berubah menjadi potret paling kelam dalam sejarah bencana beberapa tahun terakhir. Kepala Pusat Data, Informasi, dan Komunikasi Kebencanaan BNPB, Abdul Muhari, melaporkan pembaruan data korban banjir bandang dan longsor yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat. Jumlah korban meninggal dunia kini menyentuh 990 jiwa, sementara 222 orang masih hilang, lenyap bersama puing-puing desa yang hanyut diterjang air.
“Hari ini ditemukan 21 jasad. Innalillahi wa inna ilaihi raji’un,” ujar Abdul Muhari, Kamis, 11 Desember 2025. Pernyataan itu menegaskan betapa kejamnya bencana yang, nyaris saban jam, menambah daftar duka.
BNPB mencatat total korban meninggal melonjak dari 969 jiwa menjadi 990 jiwa hanya dalam waktu sehari. Dari temuan korban terbaru, Aceh menyumbang angka paling besar dengan 16 jasad, disusul Sumatera Utara 3, dan Sumatera Barat 2 jiwa.
Sementara itu, jumlah korban hilang justru menunjukkan dinamika lain, dari 252 nama, kini menyusut menjadi 222 orang. Namun pengurangan itu bukan kabar baik; sebagian diantaranya hanya bergeser status menjadi korban meninggal setelah ditemukan tim SAR dalam kondisi tak bernyawa.
“Berkurangnya 30 nama itu hasil pencocokan ulang dengan kabupaten dan kota terdampak,” kata Abdul.
Jika kematian mencuatkan duka, maka jumlah pengungsi memperlihatkan skala bencana yang mengerikan. 884.889 jiwa kini hidup dalam pengungsian, angka yang setara dengan populasi sebuah kota besar.
Meski ada penurunan sekitar 9.612 jiwa dari hari sebelumnya, itu bukan karena situasi membaik, melainkan akibat perpindahan lokasi, penyatuan data, dan sebagian korban telah kembali kerumah yang tersisa atau sekadar fondasi yang masih berdiri.
Banjir bandang yang menggilas desa-desa, longsor yang mengubur permukiman, hingga jembatan yang terputus mengisolasi ratusan ribu warga, menjadi bukti bahwa tiga provinsi ini berada dititik nadir. Tim SAR, relawan, dan aparat pemerintah disebut bekerja tanpa jeda, tetapi bencana tampak masih berlari lebih cepat daripada upaya penanganannya.
Ditengah kabut duka itu, satu pertanyaan menggantung di udara: Sampai kapan Sumatera harus bayar mahal karena kerentanan ekologinya sendiri? (Misno)






Discussion about this post