INformasinasional.com, JAKARTA —
Malam 1 September 2025, ketenangan sebuah rumah sederhana di Cipayung, Jakarta Timur, mendadak pecah. Sejumlah polisi bersenjata mendatangi rumah itu. Target mereka bukan bandar narkoba, bukan koruptor kelas kakap, melainkan seorang perempuan muda berusia 26 tahun, Laras Faizati.
Laras ditangkap karena unggahan diakun Instagram pribadinya. Sebuah video singkat dengan narasi kekecewaan, yang oleh aparat dinilai sebagai provokasi agar massa membakar gedung Mabes Polri saat gelombang demonstrasi beberapa hari sebelumnya.
Tanpa panggilan, tanpa pemeriksaan awal, Laras langsung dijemput paksa. Sehari sebelumnya, 31 Agustus, iadilaporkan. Hari itu juga ditetapkan tersangka. Esoknya, tangan Laras sudah diborgol. Kini ia mendekam di Rutan Bareskrim Polri.
“Terhadap tersangka dilakukan penahanan sejak 2 September 2025 di Rutan Bareskrim Polri,” kata Brigadir Jenderal Himawan Bayu Aji, Direktur Tindak Pidana Siber Bareskrim, dalam konferensi pers di Mabes Polri, Rabu 3 September 2025.
Polisi menyita barang bukti: akun Instagram Laras dengan 4.008 pengikut. Dimata aparat, unggahan Laras adalah hasutan berbahaya, ancaman nyata terhadap objek vital nasional.
“Konten itu bisa memetakan target dan memperkuat anarkisme. Itu bukan sekadar kritik, tapi ajakan destruktif,” ujar Himawan.
Namun bagi keluarga, cerita itu berbeda. Laras bukan provokator, melainkan seorang anak muda yang kecewa melihat tragedi. Ia geram setelah seorang pengemudi ojek online, Affan Kurniawan, tewas dilindas kendaraan taktis Brimob saat demo ricuh.
“Beliau hanya meluapkan kekecewaan. Itu ekspresi, bukan ajakan bakar-bakaran,” kata kuasa hukum keluarga, Abdul Gafur Sangadji.
Gafur menuding ada kejanggalan besar dalam proses hukum ini. “Tanggal 31 dilaporkan, tanggal 31 juga langsung tersangka, 1 September langsung dijemput paksa. Tanpa klarifikasi, tanpa pemanggilan resmi. Sampai sekarang kami tidak tahu siapa pelapornya,” ujarnya.
Menurut Gafur, kasus ini lebih berbau pembungkaman suara publik ketimbang penegakan hukum. “Laras adalah anak muda cerdas, fasih berbahasa Inggris, punya pengalaman internasional. Ia aset bangsa. Tapi justru suara kritisnya dikriminalisasi. Ini pola berbahaya: kritik dianggap kejahatan.”
Dibalik jeruji besi Bareskrim, ibunda Laras, Fauziah, hanya bisa menangis. Kepada wartawan, ia memohon agar kasus anaknya dihentikan. “Laras itu anak baik. Bekerja, lalu pulang, tidak pernah ikut organisasi apa pun. Dia hanya menulis karena terpicu suasana. Banyak orang juga melakukan hal serupa, bukan hanya Laras,” katanya terbata.
Fauziah mengirim doa dan sekaligus seruan. “Saya mohon sekali kepada Pak Prabowo, Pak Kapolri, Wakapolri, dan para penyidik. Tolong bebaskan anak saya. Jangan hukum Laras. Dia hanya anak biasa.”
Antara Ekspresi dan Ancaman Negara
Kasus Laras menyulut perdebatan publik: dimana batas antara ekspresi digital dan ancaman terhadap negara?
Apakah unggahan Instagram dengan empat ribu pengikut benar-benar mampu mengguncang institusi sebesar Polri?
Polisi berdalih penangkapan mendadak dilakukan untuk mencegah penghilangan barang bukti digital. “Tindak pidana siber punya kekhususan. Kalau tidak cepat, bukti bisa hilang,” kata Brigjen Himawan.
Namun suara masyarakat menilai ada standar ganda. Tragedi Affan Kurniawan yang tewas dilindas kendaraan Brimob belum menemukan kejelasan hukum. Sebaliknya, kritik atas tragedi itu malah lebih cepat diproses.
Kasus Laras Faizati hanyalah satu potret dari wajah demokrasi Indonesia yang kian kusut. Ketika suara rakyat, bahkan di dunia maya, lebih cepat dibungkam ketimbang kejahatan besar, maka yang terancam bukan hanya kebebasan berekspresi, tapi juga masa depan demokrasi itu sendiri.
Kini, Laras mendekam dibalik jeruji besi, ibunya meratap, kuasa hukum berteriak, dan publik bertanya-tanya
Apakah Laras memang bersalah ?*(misn’t)