INDONESIA sedang terbakar. Api itu bukan datang dari gunung berapi, bukan pula dari kilatan petir. Api itu lahir dari jempol-jempol yang tak bertanggung jawab, dari akun-akun anonim yang tanpa badan hukum tapi seakan kebal hukum. Mereka meniupkan kata-kata seperti bensin, kita yang menyulutnya, dan negeri ini yang terbakar.
Lihat Makassar. Gedung DPRD yang seharusnya jadi simbol demokrasi kini tinggal rangka arang. Tiga sampai empat nyawa melayang. Mereka bukan musuh negara, melainkan saudara sebangsa yang gugur karena kita sendiri.
Jakarta lebih parah: Senin menjelma jadi pasar gelap penjarahan. Toko-toko dibobol, barang diseret, dan rakyat yang ketakutan harus mencium gas air mata yang meledak di udara. Di Bandung, Medan, Surabaya, Yogyakarta, Bengkulu, api itu merambat cepat, lebih cepat dari kecepatan aparat memukul kentongan darurat.
Inilah wajah demokrasi digital kita: panas, liar, dan tanpa wajah.
Provokator Tanpa Nama, Api Tanpa Tuan
Saudara-saudara, jangan salah lihat. Para provokator itu tak pernah hadir dibarisan depan demonstrasi. Mereka tak pernah ikut lari dikejar aparat. Mereka tak pernah kena pentungan, tak pernah batuk karena gas air mata. Mereka bersembunyi dibalik layar ponsel anonim, tanpa KTP, tanpa alamat, tanpa rasa malu.
Mereka menulis dengan huruf kapital, kita membacanya dengan mata penuh amarah. Mereka tertawa dikejauhan, kita yang menanggung luka di jalanan. Mereka meniupkan api, tapi kitalah yang jadi abu.
Dan kita harus jujur mengakui, mereka berhasil. Suara hati rakyat yang semestinya jadi tuntutan keadilan berubah jadi amukan liar. Aspirasi berubah jadi bara. Kita menjarah toko tetangga, membakar fasilitas sendiri, dan pada akhirnya kita jugalah yang akan menelan pahitnya.
Masa Depan yang Hangus
Investor yang tadinya siap menanam modal kini memilih menanam ragu. Mereka yang hendak menciptakan pekerjaan, justru berkemas angkat kaki. Jangan salahkan bila sebentar lagi lapangan kerja makin sempit, ekonomi makin seret, dan PHK massal mengetuk pintu.
Dan ketika itu terjadi, apakah provokator digital peduli? Tentu tidak. Yang paling menderita adalah rakyat biasa, buruh pabrik, tukang becak, pedagang pasar, mahasiswa perantau. Mereka yang hanya ingin hidup layak dan tenang, tapi harus membayar mahal ulah akun-akun tanpa wajah.
Hadir dengan Hati, Bukan Hanya Gas Air Mata
Namun, jangan salahkan rakyat semata. Negara tak boleh hanya hadir dengan gas air mata dan barisan aparat. Rakyat butuh negara yang menenangkan, bukan menakutkan. Tegas menjaga fasilitas publik, ya. Tapi tetap manusiawi.
Dan yang lebih penting, tindak tegas para provokator digital. Jangan biarkan ruang maya terus menjadi pasar gelap kebencian. Akun-akun tanpa badan hukum itu harus dibungkam, bukan dibiarkan menari diatas penderitaan rakyat.
Perbaiki juga komunikasi publik. Jaga kata, pilih diksi. Jangan biarkan lidah pejabat lebih tajam dari pentungan. Satu kalimat yang salah bisa lebih berbahaya daripada seribu batu yang dilemparkan.
Bangsa ini masih punya harapan selama kita mau menahan diri. Rakyat harus sadar, jangan jadi pion murahan dalam permainan orang-orang yang bersembunyi dibalik layar. Pemerintah harus berani berpihak pada rakyat kecil, bukan pada kalkulasi politik jangka pendek.
Hari ini kita harus berani berkata cukup. Cukup dibakar oleh mereka yang bahkan tak berani menampakkan wajah. Cukup menjadi korban permainan digital yang mengorbankan nyawa nyata.
Karena bila bangsa ini runtuh, bukan provokator digital yang akan menangis. Bukan elit politik yang akan lapar. Tapi kita, rakyat biasa yang hanya ingin masa depan*
Penulis: Pemimpin Redaksi INformasinasional.com