INformasinasional.com, Jakarta — Gelombang banjir raksasa yang menyapu Sumatera Utara pekan ini ternyata membawa lebih dari sekadar air bah. Menteri Lingkungan Hidup, Hanif Faisol Nurofiq, mencium ada jejak kejahatan ekologis dibalik “rombongan” kayu gelondongan yang berserakan dialiran sungai hingga permukiman.
Hanif menyebut kayu-kayu tanpa identitas itu diduga kuat berasal dari pembukaan kebun sawit yang dilakukan tanpa bakar (zero burning), namun justru meninggalkan tumpukan batang yang dipinggirkan begitu saja. Ketika banjir besar datang, seluruh sisa pembukaan lahan itu hanyut bagai amunisi liar yang memperparah bencana.
“Ada indikasi pembukaan kebun sawit yang menyisakan log-log. Karena zero burning, kayu itu tidak dibakar tapi dipinggirkan. Banjir yang besar mendorong semuanya dan jadilah bencana berlipat-lipat,” kata Hanif di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (3/12/2025).
Kayu-Kayu Bisu yang Menghantam Pemukiman
Ungkapan Hanif menggambarkan situasi yang jauh dari sekadar banjir musiman. Sejumlah daerah di utara Sumatera melaporkan rumah-rumah dihantam gelondongan berukuran raksasa, menyerupai serpihan hutan yang digunduli secara sistematis. Fenomena ini menjadi alarm keras betapa rapuhnya tata kelola lingkungan dikawasan hulu.
Hanif menegaskan pihaknya akan melakukan penyisiran besar-besaran. “Semua potensi akan kami cek. Kami butuh dukungan semua pihak untuk menegakkan aturan lingkungan secara tegas,” ujarnya.
Menteri LH juga menyoroti karakter lanskap Batang Toru di Tapanuli Selatan, yang menurutnya berbentuk seperti huruf V. Bentuk itu membuat setiap kali air bah datang, seluruh aliran langsung mengarah ketitik terendah, tempat kota-kota berdiri.
“Semua airnya masuk ke tengah. Dan ditengah itulah kota-kota berada. Ini membuat banjir di Batang Toru seperti jebakan alam yang mematikan,” katanya.
Dibagian hulu, kata Hanif, terjadi perubahan drastis. Lahan yang seharusnya menjadi hutan kini berubah menjadi pertanian lahan kering, sebuah ironi yang membuat banjir mudah ditebak tetapi sulit ditanggulangi.
“Tempat itu seharusnya hutan. Karena sudah berubah menjadi lahan pertanian kering, kita sebenarnya sudah bisa memprediksi dampaknya dari awal,” ujarnya.
Pernyataan Hanif ini menguatkan dugaan banyak pihak, banjir Sumatera bukan sekadar bencana alam, tapi potret akibat pembiaran panjang terhadap perusakan hutan. Kayu-kayu gelondongan yang hanyut itu adalah bukti telanjang.
Banjir besar boleh surut, tapi persoalan dihulu tampaknya baru mulai terkuak.(Misn’t)






Discussion about this post