INformasinasional.com, LANGKAT–
Kasus dugaan korupsi pengadaan smartboard senilai Rp49,9 miliar di Dinas Pendidikan Kabupaten Langkat ibarat drama panjang yang makin tebal kabutnya. Proyek yang sejatinya menopang digitalisasi sekolah justru berubah menjadi lubang hitam anggaran.
Kini, sorotan publik bukan lagi semata pada siapa yang mengatur proyek jumbo itu, melainkan pada manuver hukum seorang pejabat pembuat komitmen (PPK) bernama Supriadi. Ia menggugat Kejari Langkat lewat praperadilan setelah tiga telepon genggam mewah dan satu laptop dinas disita penyidik tanpa berita acara.
Pada 11 September lalu, jaksa menyatroni kantor Disdik Langkat. Sejumlah dokumen proyek disapu. Namun yang bikin gaduh, tiga HP berkelas, yakni OPPO Reno 13 F, Samsung S24, dan Samsung S25 milik Supriadi ikut raib bersama satu laptop Asus.
Supriadi mengaku tidak pernah menerima bukti penyitaan. “Jaksa melabrak SOP. Hak saya diinjak-injak,” serunya lewat kuasa hukumnya, Yanseno Turnip. Gugatan prapid pun dilayangkan ke PN Stabat pada 3 Oktober.2025 lalu.
Langkah ini segera menyulut perdebatan. Apakah jaksa ceroboh dalam prosedur? Atau Supriadi tengah memainkan kartu hukum untuk melemahkan kasus yang membelitnya?
Dari penelusuran INformasinasional, proyek smartboard bernilai hampir Rp50 miliar itu digadang-gadang sebagai terobosan modernisasi pendidikan Langkat. Namun dilapangan, banyak sekolah mengaku tak pernah benar-benar merasakan manfaat perangkat itu. Ada yang barangnya dipalsukan, ada pula yang dipasok unit murahan dengan harga selangit.
Seorang sumber internal Disdik, yang meminta namanya disamarkan, menyebut proyek ini sejak awal penuh aroma “bagi-bagi jatah”. “Mulai dari penentuan vendor sampai distribusi barang, semuanya sudah dikondisikan,” katanya lirih.
Supriadi hanyalah PPK, pemain lapangan. Tapi publik bertanya, siapa aktor besar dibelakang proyek Rp49,9 miliar ini? Jejak administrasi mengarah kelevel pimpinan Disdik, sementara gosip politik lokal menyebut ada bayangan figur kuat dilingkaran kekuasaan Langkat yang ikut mengawal proyek ini, tidak lain adalah mantan PJ Bupati Langkat yang diduga lihai mengatasi jeratan hukum.
Tak heran, ketika Supriadi mengajukan prapid, sebagian kalangan menilai itu bukan sekadar soal prosedur. Bisa jadi, ada upaya mengulur waktu, bahkan mencari celah untuk menggugurkan barang bukti yang bisa menyeret nama-nama besar.
Praktisi hukum Harianto Ginting alias BeGe mengingatkan, Putusan MK Nomor 21/PUU-XII/2014 telah memperluas objek praperadilan, sehingga hakim bisa menilai bukan hanya sah tidaknya penangkapan atau penahanan, tapi juga proses penyidikan.
“Jika penyitaan dianggap cacat, dampaknya bisa serius. Barang bukti bisa terancam batal. Tapi ini juga kesempatan pengadilan membuktikan apakah aparat benar-benar bekerja sesuai hukum atau tidak,” kata BeGe, Rabu (8/10/2025).
Namun, BeGe menyebutkan jika KUHAP juga mengatur dua bentuk penggeledahan dan penyitaan, yaitu dalam keadaan biasa dan dalam keadaan mendesak. Meski dinilai multitafsir, penyidik bisa saja menerapkannya jika memang barang bukti tersebut dianggap penting dan berhubungan dengan perkara yang disidik serta bila tidak segera diamankan maka akan berpotensi untuk dimusnahkan atau dipindah tangankan.
“Secara eksplisit, penyitaan yang dilakukan penyidik masih dalam wilayah yang dibenarkan dan memiliki hak untuk mengakses barang tersebut, barang bukti terlihat jelas dan dikenali sebagai barang bukti tindak pidana serta yang digeledah adalah oknum PPK atau orang yang diduga sebagai pelaku tindak pidana,” sebut BeGe.
Kejari Langkat kini menghadapi ujian besar, membuktikan keseriusan memberantas korupsi atau justru tersandung prosedur. Jika prapid Supriadi dikabulkan, penyidikan bisa terguncang. Sebaliknya, bila ditolak, Supriadi harus menghadapi fakta, bahwa tiga HP dan satu laptop bisa menjadi pintu masuk membuka aliran uang proyek smartboard Rp49,9 miliar.
Bagi publik, persoalan ini lebih dari sekadar HP mewah atau laptop Asus. Prapid Supriadi menjadi simbol tarik-menarik antara fair trial dan ketegasan pemberantasan korupsi. Pertanyaan besar kini menggantung.
Apakah hakim akan berpihak pada prosedur hukum yang dilanggar, atau justru mempertegas bahwa “korupsi adalah kejahatan luar biasa” yang tak bisa diselamatkan oleh celah-celah formalitas?
Langkat kini menunggu jawabannya. Dan publik masih bertanya-tanya: siapa sebenarnya yang melindungi siapa dibalik smartboard Rp49,9 miliar ini? (Misno)
Discussion about this post