INformasinasional.com, KOTA SOLOK — Suasana Hotel Premier Kota Solok mendadak memanas, Selasa siang. Bukan karena cuaca, melainkan karena perdebatan sengit yang mewarnai forum penguatan dan pembinaan kelembagaan pengawasan Pemilu yang digelar Bawaslu Kota Solok.
Acara yang dihadiri berbagai pihak penting ini, mulai dari Bawaslu Provinsi Sumbar, Sekda Kota Solok Dr. Desmon, M.Pd. (mewakili Wali Kota), unsur TNI-Polri, partai politik, ormas, ninik mamak, hingga tokoh masyarakat menjadi sorotan karena mengulik isu “panas” pasca Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/PUU-XXII/2024.
Bawaslu Kota Solok menghadirkan narasumber utama Abrar Amir, M.A., Koordinator Tenaga Ahli Komisi II DPR RI. Sejak awal, Abrar sudah mengingatkan, putusan MK ini punya potensi “mengacak-acak” tatanan jadwal pemilu dan bahkan bisa berimbas pada perubahan haluan demokrasi di Indonesia.
“DPR Belum Bergerak”
Dalam paparannya, Abrar menegaskan bahwa sejak putusan itu dibacakan MK pada Juni 2024 lalu, hingga kini DPR RI belum membahasnya untuk dituangkan menjadi undang-undang baru atau aturan teknis pemilu mendatang.
Ia menjelaskan, meski MK memiliki kewenangan menguji undang-undang terhadap UUD 1945, memutus sengketa kewenangan lembaga negara, membubarkan partai politik, hingga mengadili perselisihan hasil pemilu, MK sejatinya bukan pembentuk undang-undang baru.
“MK itu negative legislator. Dia hanya bisa membatalkan atau menolak norma yang bertentangan dengan UUD, bukan menciptakan norma baru,” tegas Abrar, sambil menyebut bahwa langkah MK dalam putusan ini terkesan melampaui kewenangannya.
Potensi “Rekayasa Konstitusi”
Abrar mengungkapkan kekhawatiran serius: jika DPR menindaklanjuti putusan ini, sangat mungkin pemilu lokal tahun 2031 akan digelar lebih dari lima tahun setelah pemilu sebelumnya.
“Kalau itu terjadi, jelas melanggar Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 yang mengamanatkan pemilu setiap lima tahun sekali. Ini sudah masuk kategori rekayasa konstitusi. MK secara tidak langsung mengubah substansi konstitusi tanpa prosedur resmi seperti diatur dalam Pasal 37 UUD 1945,” papar Abrar yang disambut gumaman serius para peserta forum.
Demokrasi Diujung Tanduk
Menurutnya, refleksi terbesar dari kasus ini adalah peringatan keras agar MK tidak mudah menciptakan norma baru yang sejatinya merupakan ranah lembaga legislatif.
“Dalam negara demokrasi konstitusional, hukum dibentuk oleh wakil rakyat yang dipilih melalui pemilu. Ketika kekuasaan membentuk hukum diambil alih oleh lembaga yudikatif yang pasif, itu sama saja mencederai prinsip demokrasi,” tutup Abrar dengan nada tegas.
Diskusi yang awalnya formal itu pun berubah menjadi forum panas penuh tanya-jawab kritis. Stakeholder yang hadir kompak menilai perlunya DPR segera bersikap agar putusan MK ini tidak menjadi preseden buruk bagi masa depan demokrasi Indonesia.
Reporter: Yudistira
Discussion about this post