INformasinasional.com, Blora – Tragedi hitam kembali menyelimuti Kabupaten Blora. Kobaran api raksasa dari sebuah sumur minyak ilegal di Dukuh Gendono, Desa Gandu, Kecamatan Bogorejo, masih menyala hebat hingga Senin (18/8/2025). Api tak kunjung padam, sementara jumlah korban jiwa terus bertambah.
Tiga orang telah dinyatakan meninggal dunia: Tanek (60), Sureni (52), dan Wasini (50). Dua orang lain kini kritis dirumah sakit, salah satunya seorang balita. Sementara itu, 55 kepala keluarga terpaksa mengungsi, hewan ternak dievakuasi, dan lima rumah warga hancur diterjang panasnya api.
“Kebakaran belum padam, tim gabungan masih melakukan pemadaman. Sampai saat ini korban meninggal dunia sudah tiga orang,” jelas Agung Triyono dari TRC BPBD Blora.
Kronologi awal kebakaran menambah pilu. Menurut kesaksian warga, sebelum kobaran api muncul, terdengar letusan keras dari selokan. Tak berselang lama, api menyambar ke titik pengeboran sumur minyak, membumbung tinggi disertai asap hitam yang menutup langit Blora.
“Api datang dari selokan, lalu menyambar ke sumur minyak. Situasi langsung panik, warga lari menyelamatkan diri,” ungkap AKP Gembong Widodo, Kasi Humas Polres Blora.
Polisi sudah memasang garis polisi di sekitar lokasi. Namun warga mengaku ketakutan karena suara letupan kecil masih terdengar dari arah kobaran api, seakan menjadi ancaman bahwa ledakan besar bisa saja terjadi kembali.
Bom Waktu yang Dibiarkan
Kebakaran maut ini bukanlah kejadian pertama di Blora. Kabupaten yang dikenal sebagai salah satu daerah penghasil minyak bumi di Jawa Tengah ini sudah lama menjadi “ladang liar” pengeboran minyak ilegal.
Praktik sumur minyak ilegal ini dilakukan secara tradisional, menggunakan teknik seadanya, tanpa standar keamanan, dan berada sangat dekat dengan pemukiman warga. Minyak mentah dipompa secara manual, dijual ke pengepul, dan menjadi bisnis gelap bernilai miliaran rupiah.
“Sejak lama aktivitas sumur minyak ilegal ini dibiarkan. Aparat tahu, pejabat tahu, tapi semuanya diam. Padahal ini jelas-jelas bom waktu,” ujar salah seorang aktivis lingkungan di Blora yang enggan disebutkan namanya.
Kebakaran yang merenggut nyawa di Desa Gandu ini seolah menjadi bukti nyata bagaimana pembiaran dan lemahnya pengawasan menjadikan rakyat kecil sebagai korban.
Ditengah bara api yang masih menyala, suasana duka mendalam menyelimuti Desa Gandu. Tiga keluarga kehilangan orang tercinta dalam sekejap. Puluhan lainnya kini hidup dalam pengungsian, tanpa tahu kapan bisa kembali ke rumah.
Salah satu warga, dengan suara bergetar, mengatakan:
“Kami sudah sering memperingatkan bahaya sumur minyak ini. Tapi tidak ada tindakan nyata. Sekarang apa? Nyawa orang melayang, rumah kami habis, kami jadi korban.”
Kebakaran maut di Blora seharusnya menjadi alarm keras bagi pemerintah pusat maupun daerah. Selama ini, aktivitas pengeboran minyak ilegal justru dianggap sebagai “rahasia umum” yang dibiarkan. Aparat menutup mata, sementara pengusaha gelap meraup untung, dan rakyat kecil menjadi tameng risiko.
“Kalau pemerintah terus diam, tragedi serupa pasti akan berulang. Jangan tunggu korban lebih banyak baru sibuk bereaksi,” tegas seorang pemerhati kebijakan energi Jawa Tengah.
Hingga berita ini diturunkan, kobaran api dari sumur minyak ilegal di Dukuh Gendono masih menyala, menebar ketakutan dan ancaman baru. Tiga nyawa sudah melayang, puluhan keluarga kehilangan rumah, dan masa depan anak-anak di desa ini seakan dilahap bara api.
Tragedi Blora bukan sekadar kebakaran ini adalah potret buram dari lemahnya pengawasan negara terhadap praktik minyak ilegal. Jika pembiaran ini terus berlanjut, bukan mustahil “neraka kecil” di Blora akan terulang ditempat lain.
Tak hanya di Blora, dikawasan Telaga Said, Darat dan Jati, yang pada umumnya daerah Kecamatan Sei Lepan dan Kecamatan Padang Tualang dan Sawit Sebrang di Kabupaten Langkat, Provinsi Sumatera Utara, sejak 15 tahun silam hingga saat ini masih terus terjadi pembiaran atas pengeboran dan pengelolaan sumur minya ilegal.
Di Langkat sudah berulangkali sumur minyak maupun penyulingan minyak secara ilegal meledak dan terbakar yang merenggut puluhan korban jiwa, tetap dibiarkan beroperasi. Negara pura – pura tidak tahu, karena diduga merupakan lahan saweran bagi mereka.(Misn’t)