INformasinasional.com, Medan – Bau anyir mafia tanah kembali menyeruak dari Sumatera Utara. Nama Samsul Tarigan, terdakwa penguasaan lahan ilegal, kini bukan sekadar tercatat dalam berkas pengadilan. Aliansi Mahasiswa Sadar Hukum (AMASH) Sumut menuding, kasus ini hanyalah permukaan dari bongkahan besar gunung es: praktik pencucian uang yang merugikan negara hingga Rp41 miliar.
Putusan Pengadilan Tinggi Medan Nomor 2407/Pid.Sus/2024/PT Mdn menguak fakta mengejutkan. Dari lahan milik PTPN II yang dikuasai tanpa hak, negara merugi hampir setara biaya pembangunan satu rumah sakit tipe B. Namun bagi AMASH, kerugian itu hanyalah satu sisi cerita. Di ruang sidang, terungkap bagaimana hasil penguasaan lahan itu dialihkan ke berbagai bentuk: pembangunan café dan diskotik, kolam ikan, hingga kebun sawit. Sebuah pola yang, bagi mereka, terlalu rapi untuk sekadar dianggap kebetulan.
“Ini identik dengan praktik money laundering. Uang kotor dipoles jadi tampak sah. Negara dirugikan, hukum dilecehkan, dan publik dibodohi,” kata Syafruddin, Ketua Bidang Hukum AMASH, dengan suara meninggi.
Nama Samsul Tarigan bukan baru sekali bersinggungan dengan konflik tanah. Di kalangan aktivis agraria, ia disebut bagian dari rantai panjang mafia tanah yang kerap menjadikan lahan perkebunan sebagai bancakan. Kasus ini, menurut AMASH, seharusnya menjadi pintu masuk aparat penegak hukum untuk menguliti jaringan lebih luas.
“Kalau hanya berhenti pada pasal pidana perkebunan, maka aparat sekadar menggunting ujung benang. Akar persoalan tidak tersentuh. Negara bukan hanya kehilangan aset, tetapi juga kehilangan kesempatan memutus rantai mafia tanah yang menahun,” ujar Syafruddin.
Ia merujuk pada Pasal 3, 4, dan 5 UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU. Regulasi itu, kata dia, jelas memberi ruang bagi penegak hukum untuk menelusuri asal-usul uang, membekukan aset, dan menyeret pihak-pihak lain yang ikut menikmati aliran dana.
AMASH Sumut bukan suara tunggal. Desakan agar aparat penegak hukum, Kepolisian, Kejaksaan, hingga Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), segera turun tangan semakin nyaring terdengar. Mereka meminta aliran dana Samsul dilacak hingga ke rekening terakhir. Aset yang telah berubah rupa, mulai dari diskotik hingga kolam ikan, harus disita negara.
“Jangan ada kompromi. Jangan biarkan uang rakyat berubah jadi lampu gemerlap dicafé atau jadi sawit dilahan yang dikuasai ilegal. Ini bukan sekadar soal hukum, tapi soal martabat negara,” tegas Syafruddin.
Kasus Samsul Tarigan, menurut pengamat hukum, adalah lakmus bagi komitmen aparat dalam menegakkan supremasi hukum. Jika hanya berhenti di vonis pidana perkebunan, publik akan menilai hukum di Indonesia masih tebang pilih. Namun bila penelusuran TPPU benar-benar dilakukan, itu akan menjadi preseden penting dalam perang melawan mafia tanah dan pencucian uang.
“Indonesia punya undang-undang yang progresif. Yang kita tunggu adalah keberanian aparat. Jangan sampai negara kalah oleh mafia,” ujar seorang pengamat yang enggan disebut namanya.
Bagi AMASH, perjuangan ini bukan sekadar soal uang Rp41 miliar. Lebih dari itu, ini adalah pertaruhan atas keadilan dan kepastian hukum di negeri yang sering dipermainkan mafia tanah.
“Kasus ini harus jadi contoh. Bahwa hukum di negeri ini tidak tunduk pada kekuatan uang. Negara tak boleh kalah oleh mafia,” pungkas Syafruddin, menutup desakan dengan nada tajam.(Bobby OZ)