INformasinasional.com, Jakarta – Gelombang izin tambang di kawasan hutan lindung mencuat kembali ke permukaan. Di balik maraknya aktivitas pertambangan di Papua, tersimpan cerita kebijakan kontroversial yang bermula pada era pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri.
Melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 41 Tahun 2004, Megawati memberikan lampu hijau bagi 13 perusahaan tambang untuk menembus kawasan hutan lindung yang sebelumnya tak tersentuh. Keppres itu menjadi payung hukum atas pengecualian dari larangan eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam di kawasan hutan, yang secara tegas dilarang dalam Undang-Undang Kehutanan Nomor 41 Tahun 1999.
“Keputusan ini memberi celah legal bagi perusahaan-perusahaan tambang untuk tetap beroperasi di kawasan hutan yang sebelumnya dilindungi,” ungkap Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq dalam konferensi pers di Jakarta, Minggu (8/6/2025).
Raja Ampat Dikepung Tambang
Salah satu penerima manfaat besar dari kebijakan ini adalah PT Gag Nikel, yang mengantongi izin eksplorasi nikel di Pulau Gag, Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat Daya. Padahal, seluruh wilayah Raja Ampat ditetapkan sebagai kawasan hutan lindung dan dikenal sebagai surga keanekaragaman hayati dunia.
“PT Gag Nikel mendapat izin khusus dan telah memenuhi seluruh persyaratan perizinan saat itu,” ujar Hanif.
13 Perusahaan Masuk Hutan: Dari Freeport hingga Antam
Berikut daftar lengkap 13 perusahaan yang diberi izin masuk kawasan hutan lindung:
- PT Freeport Indonesia – Produksi tembaga dan emas, 10.000 ha di Mimika, Papua. Eksplorasi hingga 202.950 ha di Paniai, Jaya Wijaya, dan Puncak Jaya.
- PT Karimun Granit – Granit, 2.761 ha di Kepulauan Riau.
- PT Inco Tbk – Nikel, 218.528 ha di Sulawesi Selatan, Tengah, dan Tenggara.
- PT Indominco Mandiri – Batubara, 25.121 ha di Kalimantan Timur.
- PT Aneka Tambang (Antam) – Nikel, 39.040 ha di Maluku Utara.
- PT Natarang Mining – Emas, 12.790 ha di Lampung.
- PT Nusa Halmahera Minerals – Emas, 29.622 ha di Maluku Utara.
- PT Pelsart Tambang Kencana – Emas, 201.000 ha di Kalimantan Selatan.
- PT Interex Sacra Raya – Batubara, 15.650 ha di Kalimantan Timur dan Selatan.
- PT Weda Bay Nickel – Nikel, 76.280 ha di Maluku Utara.
- PT Gag Nikel – Nikel, 13.136 ha di Pulau Gag, Papua.
- PT Sorikmas Mining – Emas, 66.200 ha di Sumatera Utara.
- PT Aneka Tambang (Antam) – Nikel, 14.570 ha di Sulawesi Tenggara.
Legal Tapi Sarat Kontroversi
Pemberian izin ini didasarkan pada pengesahan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2004, yang kemudian ditetapkan menjadi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004. Aturan ini secara de facto mengebiri larangan UU Kehutanan demi melindungi investasi sektor tambang.
“Pengecualian ini memang legal, tapi membuka diskusi panjang tentang prioritas negara antara menjaga hutan atau mendorong eksploitasi SDA,” ujar Hanif.
Meski sah secara hukum, kebijakan ini memunculkan kekhawatiran di kalangan pemerhati lingkungan dan masyarakat adat yang tinggal di wilayah terdampak. Banyak yang menilai kebijakan ini sebagai bentuk ‘obral izin’ yang mengabaikan prinsip kelestarian lingkungan dan hak masyarakat lokal.*