INformasinasional.com, Jakarta – Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang digelar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Kabupaten Mandailing Natal, Sumatera Utara, pada Kamis malam (26/6/2025) ternyata berawal dari laporan masyarakat soal buruknya kualitas proyek jalan di daerah tersebut. Dari pengaduan itu, KPK membongkar dugaan praktik korupsi berjamaah yang melibatkan pejabat dinas hingga pihak swasta dalam proyek-proyek infrastruktur bernilai ratusan miliar rupiah.
Hal itu dikatakan Plt Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu, dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Sabtu (28/6/2025). Dari 6 orang yang diamankan dalam OTT, 5:di antaranya resmi ditetapkan sebagai tersangka. Mereka diduga terlibat dalam praktik suap menyuap dan pengaturan pemenang proyek jalan provinsi maupun nasional.
KPK menetapkan lima tersangka dalam kasus ini, yakni: Topan Ginting (TOP) selaku Kepala Dinas PUPR Provinsi Sumut, Rasuli Efendi Siregar (RES) Kepala UPTD Gunung Tua Dinas PUPR Provinsi Sumut. Heliyanto (HEL) PPK Satker PJN Wilayah I Sumut. M Akhirun Pilang (KIR) Direktur Utama PT DNG. Dan M Rayhan Dulasmi Pilang (RAY) – Direktur PT RN
Kelima tersangka langsung ditahan selama 20 hari pertama, hingga 17 Juli 2025, di Rutan Cabang KPK Gedung Merah Putih, Jakarta. Satu orang lainnya masih berstatus saksi karena belum cukup bukti.
OTT Pecah Setelah KPK Terima Aduan Jalan Rusak
Menurut Asep, OTT ini bukanlah hasil penyelidikan biasa. Segalanya bermula dari keresahan warga yang melapor soal kualitas jalan yang buruk di beberapa wilayah Sumut. KPK lalu menindaklanjuti aduan tersebut dengan menurunkan tim ke lapangan. Investigasi menemukan adanya proyek-proyek jalan yang tidak sesuai spesifikasi dan kuat dugaan dikorupsi.
“Beberapa bulan lalu kami menerima informasi dari masyarakat mengenai infrastruktur yang kualitasnya buruk. Dari sana kami telusuri dan ternyata ada dugaan korupsi dalam pelaksanaannya,” ungkap Asep.
Setelah mengumpulkan cukup bukti, KPK memutuskan bergerak cepat ketika mendeteksi akan ada transaksi suap yang melibatkan pihak-pihak tersebut. Penyidik langsung melakukan OTT guna menggagalkan proses lebih lanjut yang bisa merugikan negara dan masyarakat.
Asep mengungkapkan, pihaknya sempat dihadapkan pada dua pilihan. Pertama, menunggu proses lelang dan proyek berjalan agar bisa menangkap pelaku dengan bukti suap yang lebih besar—diperkirakan mencapai Rp 41 miliar, sekitar 20% dari total proyek senilai Rp 231,8 miliar. Kedua, langsung melakukan OTT dan mencegah kerugian lebih lanjut, meski barang bukti uang yang disita saat OTT lebih kecil.
Akhirnya, KPK memilih opsi kedua: menyelamatkan proyek dari pelaksanaan curang yang akan mengorbankan kualitas infrastruktur dan uang negara.
“Kalau dibiarkan, kualitas jalan pasti buruk karena sebagian besar anggarannya justru digunakan untuk menyuap,” kata Asep.
Dalam konstruksi perkara, Kepala Dinas PUPR Sumut, Topan Ginting, diduga menjadi aktor utama dalam pengaturan proyek. Ia disebut telah menunjuk perusahaan tertentu untuk memenangkan dua proyek besar, yakni pembangunan Jalan Sipiongot -;Batas Labusel dan Jalan Hutaimbaru–Sipiongot dengan nilai total Rp157,8 miliar.
“TOP membawa langsung Saudara KIR (Dirut PT DNG) ke proyek itu dan memerintahkan RES selaku PPK untuk memenangkan perusahaan tersebut. Ini jelas persekongkolan,” tegas Asep.
Dua Klaster Korupsi: Proyek Provinsi dan Jalan Nasional
KPK menyebut ada dua klaster besar dalam kasus ini. Pertama, proyek-proyek yang ditangani Dinas PUPR Provinsi Sumut, dan kedua, proyek jalan nasional yang berada di bawah Satker PJN Wilayah I Sumut.
Ini bukan kasus korupsi jalan biasa. Modusnya sudah sistemik: mulai dari pengaturan pemenang tender hingga transaksi suap antar pejabat dan pengusaha untuk melancarkan proyek dengan skema bagi-bagi.
Publik patut bertanya: berapa banyak lagi jalan rusak yang bukan karena medan berat, tapi karena proyeknya digarap secara curang dan serampangan demi kepentingan segelintir orang?
KPK menegaskan, mereka akan terus menelusuri aliran dana dan membuka kemungkinan adanya tersangka baru. Jika praktik ini tidak dihentikan, bukan hanya anggaran negara yang dikorupsi, tapi juga masa depan pembangunan daerah.
(sumber: detikcom)