INformasinasional.com, Kota Solok – Di Kota Solok, aroma kekuasaan kini tercium tajam. Delapan bulan setelah Ramadhani Kirana Putra dan Suryadi Nurdal resmi menakhodai kota kecil dijantung Sumatera Barat itu, wajah pemerintahan berubah drastis. Bukan hanya karena gebrakan kebijakan baru, tapi juga karena “bayangan” misterius dibalik pelantikan pejabat eselon II dan III.
Pelantikan yang sejatinya menjadi seremoni pengabdian itu justru meninggalkan jejak tanda tanya. Jumat, 24 Oktober 2025, di Gedung Kubung Tigo Baleh, suasana pelantikan pejabat eselon III mendadak terasa aneh. Ada yang berseri-seri, ada yang murung, ada pula yang menunduk dalam diam seolah menyimpan rahasia besar.
Lalu, muncullah pernyataan mengejutkan dari Walikota Solok Dr H Ramadhani Kirana Putra SE MM. Dihadapan para pejabat baru, ia menegaskan: “Tidak ada setoran, tidak ada pembayaran untuk jabatan di Pemko Solok.”
Namun, dibalik kalimat tegas itu, terselip satu pengakuan yang membuat publik terperangah. Ramadhani mengaku memang meminta “kompensasi” kepada pejabat-pejabat yang baru dilantik. Kompensasi, katanya, bukan dalam bentuk uang, melainkan kinerja terbaik dan ketulusan dalam melayani masyarakat.
“Kami memang meminta kompensasi, bukan uang, tapi kerja ikhlas dan tulus. Kami dipilih rakyat, sementara pejabat-pejabat ini kami tunjuk untuk membantu kami melayani rakyat,” ujarnya penuh tekanan.
Pernyataan itu sontak memantik tanya, jika benar tidak ada setoran, mengapa pernyataan tentang “kompensasi” justru harus ditegaskan diruang publik, bahkan disebarluaskan diakun media sosial sang walikota sendiri?
Beberapa sumber internal Pemko Solok menyebut, pelantikan kali ini sarat aroma politik balas jasa. Posisi strategis diisi wajah-wajah baru yang tak asing: orang partai pengusung, tim sukses Pilkada, hingga kader organisasi pendukung. Bahkan, jabatan Sekretaris Pribadi (Sespri) pun disebut-sebut ikut dirombak demi mengakomodasi “kelompok dalam lingkaran”.
Disisi lain, muncul Tim Percepatan Pembangunan Daerah (TPPD) unit baru yang digadang-gadang untuk mempercepat program strategis kota. Namun, publik mempertanyakan sumber pendanaan tim ini. “Efisiensi anggaran katanya, tapi kok banyak wajah baru yang digaji? Dari APBD atau ada pungutan dari OPD?” tanya Bandaro, tokoh masyarakat Solok yang dikenal vokal mengkritik kebijakan pemerintah daerah.
Bandaro juga menuding, program strategis Pemko Solok selama 2025 nyaris tanpa gaung. “Kami masyarakat bahkan tidak tahu program strategis apa yang dijalankan, apalagi capaian kinerjanya. Media pun seperti dibungkam,” ujarnya dengan nada getir.
Ironi lain pun menyeruak dari kalangan jurnalis. Sejumlah media lokal mengaku tagihan kontrak kerja sama dengan Pemko Solok belum dibayar sejak Maret 2025. Alasannya klasik: efisiensi anggaran.
Yang lebih aneh, ketika Surat Pertanggungjawaban (SPJ) sudah rampung dan siap diajukan, pejabat di Bagian Kominfo justru diganti. Otomatis, semua berkas harus diulang dari awal. “Hebat cara Pemko Solok mempermainkan media. Dibilang efisiensi, tapi faktanya banyak jabatan baru bermunculan,” sindir seorang jurnalis senior dikota itu.
Ironisnya lagi, ditengah krisis transparansi itu, Walikota dan jajaran justru aktif bermanuver dimedia sosial. Dari TikTok, Instagram, hingga YouTube, aktivitas mereka gencar dipublikasikan bukan oleh media resmi, melainkan oleh akun pribadi dan tim digital yang disebut-sebut berasal dari lingkaran pemenangan Pilkada.
“Katanya gratis pakai medsos, padahal paket datanya juga beli. Dan yang lebih miris, platform-nya semua dari luar negeri, bukan produk NKRI,” ujarnya dengan nada sarkastik.
Ramadhani boleh menampik isu setoran. Ia boleh bicara ihwal keikhlasan dan ketulusan. Tapi publik tahu, sejarah politik lokal dinegeri ini jarang benar-benar steril dari kompromi.
Ibarat pepatah lama: “Sepandai-pandainya bangkai disembunyikan, baunya akan tercium juga.”
Apakah pelantikan ini murni soal meritokrasi dan pengabdian, atau sekadar panggung pembagian kue kekuasaan dengan bungkus retorika moral?
Waktu akan menjawab.
Namun satu hal pasti di Kota Solok, aroma misteri itu sudah terlanjur menyeruak, menusuk hidung publik, dan sulit sekali dihapuskan.
(Laporan: Yudistira)





Discussion about this post