INformasinasional.com, BANDA ACEH — Aroma kegusaran Presiden Prabowo Subianto tercium tajam diruang rapat penanganan bencana di Banda Aceh, Minggu siang itu. Dihadapan para bupati yang duduk rapi, sebagian dengan wajah tegang, sebagian berusaha tersenyum, Prabowo menyelipkan sindiran yang langsung menghantam pusat kontroversi pekan ini. Bupati Aceh Selatan Mirwan, yang tengah berada di Mekkah saat banjir merendam daerahnya.
Prabowo awalnya berbicara datar. “Terima kasih ya para bupati. Kalian dipilih untuk menghadapi kesulitan,” katanya. Kalimatnya halus. Tapi jeda berikutnya terasa seperti tarikan napas sebelum badai.
Kemudian badai itu meledak.
“Kalau ada yang lari, lari saja enggak apa-apa…” Prabowo berhenti, tersenyum tipis. Lalu kalimat yang membuat ruangan tercekat, “Copot. Mendagri bisa ya diproses ini?”
Dari samping, Mendagri Tito Karnavian menjawab tanpa ragu: “Bisa, Pak.”
Saat itulah Prabowo mengerahkan istilah yang membuat banyak kepala daerah saling pandang, desersi.
“Dalam tentara itu namanya desersi,” katanya. “Dalam keadaan bahaya, meninggalkan anak buah… waduh. Itu enggak bisa.”
Ia melanjutkan tanpa tedeng aling-aling: “Saya enggak mau tanya partai mana. Sudah kau pecat?” sindirnya, kali ini tanpa menyebut nama, tapi semua hadirin tahu siapa yang sedang dibidik.
Beberapa bupati terlihat terkekeh. Sebagian sekadar menahan napas. Ruangan penuh air banjir, tapi udara mendadak panas.
Sementara, Wakil Menteri Dalam Negeri Bima Arya Sugiarto menegaskan, setelah dicek ulang, Mirwan sama sekali tidak mengantongi izin untuk meninggalkan Indonesia.
“Yang bersangkutan tidak ada izin,” kata Bima. “Apa pun alasannya, sangat tidak wajar seorang pemimpin meninggalkan daerahnya ketika rakyatnya menghadapi bencana dan korban jiwa. Apalagi hanya untuk umrah, bukan haji.”
Bima mengatakan Kemendagri sudah menyiapkan Inspektur Khusus untuk turun ke Aceh. “Kita lihat hasil pemeriksaan,” ujarnya. Nada suaranya dingin, administratif, tapi jelas menggantung ancaman sanksi.
Dari Mekkah, Mirwan mengirim klarifikasi tertulis. Ia mengaku sudah turun ke okasi banjir sebelum berangkat. Ia juga mengatakan situasi “terkendali”.
“Saya memastikan seluruh OPD bekerja sesuai alur komando. Dari hasil koordinasi, situasi saat itu terkendali sehingga saya dapat menunaikan nazar saya,” tulisnya.
Soal surat gubernur yang menolak izin bepergian, Mirwan berdalih: surat itu baru tiba di Pemkab Aceh Selatan pada 2 Desember ketika ia sudah berada di Mekkah. “Ada gangguan telekomunikasi dan listrik,” kilahnya. Ia menyebut ini sebagai “miskomunikasi”.
Padahal,vJika listrik padam, jaringan hancur, banjir meluas, bukankah itu justru alasan paling kuat seorang bupati tidak boleh pergi?
Di Aceh Selatan, air surut perlahan. Namun kemarahan belum. Sebagian warga bertanya, apakah nazar pribadi lebih penting daripada nasib ribuan orang yang mengungsi?
Di Jakarta, bola panas kini ada ditangan Mendagri. Di Aceh, reputasi seorang bupati sedang diseret arus.
Dan di Banda Aceh, Presiden Prabowo telah memberi isyarat yang tak bisa disalahartikan.
Ditengah bencana, seorang pemimpin tidak boleh bepergian.(Misn’t)






Discussion about this post