INformasinasional.com, Langkat –
Senyap malam di Stabat berubah jadi duka. Sepotong batang pohon karet lapuk milik PT Darsum runtuh, menghantam kepala seorang anak muda yang tengah pulang dari warung kopi. Dentuman kayu kering itu seakan menutup lembaran hidup Taufiq Huda Alhabib, 20 tahun, mahasiswa teknik semester akhir, sekaligus kader terbaik PB Himala Langkat.
Harapan sang ibu, Irma Br Lubis, untuk melihat putranya lulus kuliah dan menjadi penopang ekonomi keluarga, kandas seketika. “Anak saya baru belajar meraih masa depan, tapi nyawanya direnggut hanya karena kelalaian perusahaan yang membiarkan pohon mati berdiri di tepi jalan,” ujar Irma dengan suara parau, Senin, 22 September 2025, di Stabat. Air mata pilu itu jatuh bersama rasa kecewa: PT Darsum bungkam, tak satu pun manajemen datang menyampaikan maaf.
Keangkuhan Perusahaan
Keluarga korban menilai PT Darsum angkuh. Mereka seolah memperlakukan nyawa manusia tak lebih berharga dari sebatang pohon karet kering. “Kami menunggu, tapi tak ada yang datang meminta maaf. Bagi mereka, nyawa anak saya seakan tak berarti,” kata Irma, yang didampingi keluarga besar.
Kekecewaan itu kian dalam. Sebagai mahasiswa aktif, Taufiq dikenal kritis, berprestasi, dan kerap jadi motor penggerak di organisasi. Maka keluarga pun mengetuk pintu PB Himala Langkat untuk memperjuangkan keadilan.
Ketua Umum PB Himala Langkat, M. Wahyu Hidayah SH, menerima amanah itu dengan tegas. “Almarhum bukan hanya sahabat, tapi juga kader terbaik kami. Ini tanggung jawab moral yang wajib kami perjuangkan sampai tuntas,” katanya.
Wahyu memastikan laporan resmi akan dilayangkan ke Mapolres Langkat pada Selasa, 23 September 2025. Tak berhenti di ranah hukum, Himala juga menyiapkan aksi turun ke jalan bersama sejumlah organisasi mahasiswa lain. Target mereka bukan hanya PT Darsum, tetapi juga perusahaan-perusahaan perkebunan yang abai terhadap keselamatan masyarakat.
“Kami sudah mengantongi data puluhan pohon lapuk yang berdiri di pinggir jalan, rawan roboh menimpa warga. Jika perusahaan tak mengindahkan peringatan kami, jangan salahkan bila mahasiswa sendiri yang turun memotong pohon-pohon itu,” ancam Wahyu.
Tragedi Taufiq hanyalah puncak gunung es. Dalam beberapa bulan terakhir, insiden serupa terjadi di sejumlah lokasi di Langkat: pengendara luka-luka, bahkan meninggal, tertimpa batang kayu tua yang dibiarkan tanpa perawatan.
Namun, pola yang sama berulang: perusahaan pemilik kebun hanya sibuk memanen keuntungan, tapi tutup mata pada tanggung jawab sosial. “Nyawa manusia dianggap tidak lebih berharga dari seonggok getah karet,” ujar seorang aktivis mahasiswa yang ikut mendampingi keluarga.
Kini bola panas ada di tangan penegak hukum. Laporan keluarga korban yang difasilitasi Himala menuntut PT Darsum bertanggung jawab penuh: baik secara pidana maupun perdata. Bagi keluarga, gugatan ini bukan sekadar menuntut kompensasi, tetapi peringatan keras agar tragedi serupa tak lagi merenggut nyawa warga.
“Ini bukan hanya tentang anak saya, tapi tentang keselamatan orang banyak. Jangan ada lagi Taufiq-Taufiq lain yang dikorbankan karena lalainya perusahaan,” tegas Irma dengan mata sembab.
Kasus ini menjadi alarm keras bagi seluruh korporasi perkebunan di Langkat. Pepohonan yang ditanam di pinggir jalan bukan sekadar hiasan atau pagar kebun. Ia adalah ancaman laten jika tak dirawat. Satu batang pohon lapuk bisa menutup masa depan seseorang, bisa merenggut anak dari pangkuan ibu, bisa mengubur cita-cita yang sedang bertunas.
Dan di balik keheningan kebun karet PT Darsum, gema perlawanan mahasiswa kini mulai terdengar: keadilan harus ditegakkan, atau rakyat sendiri yang akan menuntutnya.
(M.Zaid. Lubis)
Discussion about this post