INformasinasional.com, JAKARTA – Ditengah riuhnya dunia pers yang kian terhimpit gelombang digitalisasi, kabar baik datang dari organisasi wartawan tertua di Indonesia. Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) resmi kembali terdaftar di Kementerian Hukum dan HAM RI. Keputusan Menteri Hukum Nomor AHU-0001616.AH.01.08.Tahun 2025 menjadi penanda, PWI telah menemukan jalannya kembali kepangkuan legalitas negara.
Langkah ini sekaligus menutup bab kelam dualisme yang sempat mencabik tubuh organisasi besar itu. Bertahun-tahun PWI terseret pusaran konflik internal, berujung pada blokir administrasi resmi di Kemenkumham. Kini, dengan terbitnya Surat Keputusan pada Kamis, 11 September 2025, dualisme itu dinyatakan usai.
“Prosesnya sangat cepat karena semua data lengkap dan berbasis digital,” ujar Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum, Widodo, kepada wartawan. Ia menegaskan pendaftaran kepengurusan hasil Kongres Rekonsiliasi yang digelar PWI sesuai seluruh persyaratan hukum.
Susunan Baru, Harapan Baru
Dalam SK tersebut, ditetapkan kepengurusan baru. Akhmad Munir sebagai Ketua Umum, Zulmansyah Sekedang menjabat Sekretaris Jenderal, dan Marthen Selamet Susanto dipercaya sebagai Bendahara Umum. Nama senior Atal S Depari mengisi posisi Ketua Dewan Kehormatan, menjaga arah moral organisasi dari kursi pengawas.
Kepengurusan ini adalah hasil dari Kongres Rekonsiliasi yang digelar dengan semangat menyatukan kembali rumah besar wartawan. Akhmad Munir, yang juga Direktur Utama LKBN Antara, menegaskan terbitnya SK ini bukan sekadar formalitas hukum.
“Alhamdulillah, AHU PWI sudah terbit. Itu pertanda PWI kembali bersatu. Kami siap berkontribusi untuk wartawan, pers, masyarakat, bangsa, dan negara,” katanya.
Munir pun mengajak seluruh anggota PWI dari Sabang sampai Merauke menanggalkan sekat lama. “Mari kita kompak kembali, guyub kembali. Sudah saatnya mengangkat marwah wartawan, menjaga kehormatan profesi, dan menjadikan PWI sebagai rumah bersama,” katanya.
PWI bukan organisasi sembarangan. Sejak berdiri pada 9 Februari 1946 di Surakarta, ia menjadi tonggak sejarah pers Indonesia menjadi saksi sekaligus pelaku dalam perjalanan bangsa. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, organisasi ini terjerat konflik kepemimpinan yang berujung pada dualisme.
Dua kubu mengklaim legitimasi, saling berebut legalitas, hingga akhirnya Kemenkumham membekukan administrasi resmi PWI. Situasi itu meninggalkan luka mendalam: wartawan didaerah bingung menentukan afiliasi, publik tercengang melihat rumah besar pers retak, sementara kepercayaan perlahan tergerus.
Kini, dengan terbitnya SK AHU terbaru, luka itu memang belum sepenuhnya sembuh, tetapi pintu rekonsiliasi sudah terbuka lebar. Kongres Rekonsiliasi menjadi panggung penyatuan. Nama-nama yang ditetapkan dalam kepengurusan baru disebut mewakili kompromi, keseimbangan, sekaligus harapan.
Meski telah resmi kembali bernaung dibawah payung hukum, perjalanan PWI tak lantas mulus. Tantangan besar menanti didepan mata. Dunia pers tengah menghadapi krisis kepercayaan, disrupsi teknologi, hingga tergerusnya independensi redaksi oleh kepentingan politik dan bisnis.
Dalam kondisi itu, PWI dituntut bukan hanya sekadar organisasi profesi, melainkan garda yang menjaga etika, profesionalisme, dan kemandirian wartawan. “PWI harus berdiri tegak, tidak boleh goyah. Kita punya tanggung jawab besar mengawal demokrasi, menjaga marwah pers, dan membela kepentingan publik,” kata seorang pengurus PWI daerah yang hadir dalam kongres, suaranya bergetar oleh harapan.
Momen ini sekaligus menjadi isyarat: setelah terbelah, PWI memilih jalan bersatu. Setelah terseret konflik, kini ia ingin kembali menjadi tenda besar tempat wartawan dari berbagai daerah bernaung.
PWI bukan hanya soal nama, bukan pula sekadar legalitas dimata negara. Ia adalah simbol sejarah, saksi perjalanan bangsa, dan jangkar moral bagi dunia jurnalistik Indonesia.
Dengan terbitnya SK AHU ini, setidaknya satu bab baru telah dibuka. PWI kembali sah dimata hukum, kembali tegak sebagai organisasi profesi terbesar dinegeri ini, dan kembali bersiap menapaki jalan panjang pengabdian bagi pers, bangsa, dan demokrasi.(Misno)