INformasinasional.com, LANGKAT – Seakan tak tersentuh hukum, Kepala Desa Tapak Kuda, Kecamatan Tanjung Pura, Langkat, Imran S.Pd.I, terus berkuasa bak raja kecil disudut negeri. Meski Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Medan telah menjatuhkan vonis 10 tahun penjara dan denda Rp1 miliar dalam kasus korupsi alih fungsi hutan mangrove senilai Rp700 miliar lebih, sang kades masih bebas melenggang, memainkan bidak kekuasaannya di desa.
Padahal, dalam amar putusan PN Medan tertanggal 11 Agustus 2025 dengan nomor perkara 139/Pid-Sus-TPK/2024/PN Mdn, hakim memerintahkan Imran untuk ditahan. Namun, entah karena kelengahan atau pembiaran, eksekusi tak kunjung dilakukan. “Itulah yang membuat Imran masih bisa berbuat semaunya di desa kami,” ujar Wanda, perwakilan warga Tapak Kuda dengan nada geram.
Alih-alih rendah hati menanti proses hukum, Imran justru semakin menjadi. Ia mengganti pengurus Kelompok Tani Tumbuh Subur dengan orang-orang kepercayaannya, tanpa musyawarah kelompok. Belum puas, Imran menyingkirkan sekretaris desa sah, Khairunnisa, dan mengangkat adik kandungnya sendiri, Abdul Rahmad, sebagai pengganti.
Tindakan sepihak ini memicu riuh masyarakat. Camat Tanjung Pura, Tengku Reza, bahkan mengeluarkan surat perintah resmi (Nomor 400.1022-346/TP/2025, tertanggal 25 Agustus 2025) agar posisi sekretaris desa dikembalikan kepejabat lama. Namun surat itu diabaikan. “Bagi Imran, surat camat itu seolah tidak ada. Luar biasa ini kades kami, bang,” kata Ketua BPD Tapak Kuda, Syaiful Bahri Hasibuan, Rabu, 1 Oktober 2025.
Syaiful mengaku jengah. Sebagai Ketua BPD, ia justru sering jadi sasaran amarah warga. “Saya yang dikejar-kejar masyarakat, seolah-olah kongkalikong. Padahal dia yang ganti pengurus kelompok tani, dia yang ganti sekdes, saya pun tak tahu,” keluhnya.
Kisruh Tapak Kuda kini sampai kemeja rapat Pemkab Langkat. Kadis PMD memimpin pertemuan bersama Inspektorat, Sekda, Bagian Hukum Pemkab, BPD, dan perwakilan masyarakat. Hasilnya, Pemkab Langkat memilih menunggu petikan putusan PN Medan. Jika salinan putusan sudah diterima, Imran akan diberhentikan sesuai prosedur hukum.
Namun masyarakat tak sabar menunggu birokrasi yang bertele-tele. Mereka menuntut eksekusi segera. “Kami awam hukum, tapi yang kami tahu, kalau sudah divonis bersalah, terdakwa mestinya ditahan. Kalau tidak, apa gunanya supremasi hukum?” seru Wanda lantang.
Kasus Imran kian menyeret wajah penegakan hukum di Sumatera Utara. Bagaimana mungkin terdakwa korupsi raksasa senilai ratusan miliar tetap bebas berkeliaran, bahkan masih memegang jabatan publik? “Apakah PN Medan dan Bupati Langkat menunggu kami turun ke jalan, berdemo, baru bertindak?” Wanda menuding keras.
Warga Tapak Kuda kini menunggu langkah tegas. Jika Imran terus dibiarkan, keresahan bisa meledak menjadi gejolak. “Dengan tidak ditahannya Imran, bukan hanya desa kami yang rusak, tapi juga reputasi penegakan hukum dinegeri ini,” tambahnya.
Sementara itu, diamnya aparat terhadap amar putusan yang sudah terang benderang dianggap preseden buruk. Sebuah sinyal bahwa hukum bisa ditawar-tawar. Dan di Tapak Kuda, seorang kepala desa yang mestinya duduk di jeruji besi, masih berkuasa seperti raja kecil, membangun tirani di atas penderitaan rakyatnya.*(MZL)
Discussion about this post