INformasinasional.com | JAKARTA – Pagi buta di Depok, hawa gerah sudah mulai berdenyut. Dari Lapangan FISIP UI, sekelompok mahasiswa berkaus hitam kuning mengibarkan spanduk bertuliskan: “Rakyat Bukan Objek, Janji Bukan Gimmick.” Mereka adalah gelombang pertama Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM UI) yang memimpin aksi besar didepan Gedung DPR/MPR RI, Selasa, 9 September 2025.
Jakarta kembali jadi panggung kemarahan publik. Tagar #RakyatTagihJanji menggema, menuntut para elite di Senayan tidak amnesia pada janji-janji politik yang dulu mereka umbar. “Kami datang bukan untuk sekadar berteriak, tapi untuk mengingatkan bahwa demokrasi bukan pajangan, HAM bukan aksesoris, dan perut rakyat kecil bukan angka statistik,” pekik salah satu orator dari atas mobil komando.
Aksi ini tak main-main. Sebanyak 2.852 personel gabungan Polri, TNI, dan Pemda DKI diturunkan untuk mengawal jalannya demonstrasi. Kapolres Metro Jakarta Pusat, Kombes Susatyo Purnomo Condro, memastikan aparat tak membawa senjata api. “Polisi hadir bukan untuk menghadapi musuh, melainkan melayani saudara-saudara kita yang ingin menyampaikan pendapat,” ujarnya dengan nada menenangkan.
Namun, gambaran dilapangan jelas kontras. Jalan Gatot Subroto berubah jadi bentangan pagar kawat berduri, deretan barikade polisi, dan mobil water cannon yang siaga dititik strategis. Meski aparat berulang kali menegaskan pendekatan humanis, tak sedikit mahasiswa yang menilai kehadiran ribuan personel itu lebih mirip persiapan perang ketimbang pesta demokrasi jalanan.
BEM UI tak datang dengan teriakan kosong. Mereka membawa 17+8 Tuntutan Rakyat sebuah paket kritik yang memuat keresahan publik dari demokrasi yang kian tercekik hingga dapur rakyat kecil yang makin sesak.
Beberapa poin utama:
- Mendesak pemerintah menjaga ruang demokrasi yang kian menyempit, dari pembungkaman kritik hingga kriminalisasi aktivis.
- Menagih penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu yang kerap digembosi jargon tanpa realisasi.
- Menggugat kesejahteraan ekonomi rakyat kecil, dari harga bahan pokok yang terus meroket hingga akses pekerjaan yang makin sempit.
“Jangan jadikan janji politik sekadar poster kampanye. Rakyat berhak menagih, rakyat berhak marah,” tegas Ketua BEM UI dalam pidatonya.
Aksi ini bukan monopoli UI semata. Berbagai BEM kampus lain turut bergabung. Begitu pula organisasi masyarakat sipil yang sejak lama kecewa pada pemerintah dan parlemen. Foto-foto dilapangan menegaskan keragaman barisan, ada mahasiswa dengan bendera kampus, aktivis HAM membawa poster wajah korban pelanggaran masa lalu, hingga emak-emak pekerja informal yang menggenggam spanduk tuntutan harga sembako.
Kehadiran mereka menunjukkan bahwa keresahan sudah menembus batas akademis. Bahwa suara rakyat kecil kini berpadu dengan suara mahasiswa, mengalun jadi satu orkestra perlawanan.
Gedung DPR yang menjulang di Senayan menjadi sasaran simbolik sekaligus nyata. Dibalik tembok beton dan kaca dingin, para wakil rakyat disebut terlalu sibuk bertransaksi kekuasaan, lupa mendengar denyut diluar pagar. “Mereka janji reformasi, tapi yang lahir justru reformasi setengah hati. Kami menolak demokrasi yang dipreteli,” ujar seorang mahasiswa hukum UI.
Sorotan utama jatuh pada isu politik transaksional, pelemahan lembaga independen, dan regulasi yang lebih sering menguntungkan oligarki dibanding rakyat. Bagi mahasiswa, DPR bukan lagi rumah rakyat, melainkan ruang gema janji yang menguap.
Tagar #RakyatTagihJanji membanjiri media sosial sejak pagi. Ribuan unggahan dari peserta aksi, simpatisan, hingga masyarakat umum menjadikan isu ini trending nasional. Tuntutan mahasiswa melintasi pagar DPR, menjelma percakapan publik didunia maya.
BEM UI menegaskan, aksi ini bukan rutinitas tahunan mahasiswa. Mereka menyebutnya sebagai alarm keras agar pemerintah dan DPR sadar, rakyat bukan obyek yang bisa dibujuk dengan retorika. Demokrasi sejati butuh pengawasan, bukan basa-basi.
Demonstrasi hari ini menjadi pengingat telak bahwa republik masih punya nadi: mahasiswa dan rakyat. Meski dijaga ribuan aparat, lautan mahasiswa menegaskan satu hal, demokrasi tidak boleh mati pelan-pelan di Senayan.
“Negara boleh pasang kawat duri setinggi langit. Tapi suara rakyat akan tetap menembus,” teriak seorang mahasiswa, disambut pekik ribuan orang.
Hari ini, Jakarta tak sekadar menyaksikan demonstrasi. Ia menyaksikan rakyat menagih, rakyat mengawasi, rakyat mengingatkan: janji bukan untuk dilupakan.
Namun, semua pihak berharap, jangan lagi terjadi kerusuhan dan korban. Salurkan aspirasi, hargai dan hormati petugas gabungan yang melakukan pengamanan aksi. Jangan terpancing dengan jempol-jempol anonim yang tak bertanggung jawab dibalik layar android liar.(Misno)