INformasinasional.com, Jakarta – Nama Setya Novanto kembali menggema di ruang publik. Mantan Ketua DPR RI yang terseret dalam kasus mega korupsi proyek KTP elektronik (e-KTP) senilai Rp 2,3 triliun itu, kini resmi menghirup udara bebas bersyarat sejak Jumat, 16 Agustus 2025, usai menjalani masa tahanan di Lapas Sukamiskin, Bandung, Jawa Barat. Namun, yang lebih mengejutkan publik adalah kenyataan bahwa ia masih memiliki peluang untuk kembali menduduki jabatan publik, meski baru bisa dilakukan mulai tahun 2031.
Kepastian ini dijelaskan oleh Kabag Humas Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjenpas) Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan, Rika Aprianti. Ia menegaskan bahwa berdasarkan putusan Peninjauan Kembali (PK) Mahkamah Agung dengan nomor 32 PK/Pid.Sus/2020, Setnov dikenakan pidana tambahan berupa pencabutan hak politik, khususnya untuk menduduki jabatan publik, selama dua tahun enam bulan setelah selesai menjalani masa pemidanaan.
“Pidana tambahan berbunyi, mencabut hak terpidana untuk menduduki jabatan publik selama dua tahun enam bulan terhitung sejak selesai menjalani pemidanaan. Maka hak itu baru berlaku kembali per 1 Oktober 2031,” jelas Rika, Senin (18/8/2025).
Perjalanan hukum Setnov memang penuh lika-liku. Vonis awal 15 tahun penjara yang dijatuhkan kepadanya dalam kasus korupsi e-KTP sempat dianggap menjadi salah satu tonggak penegakan hukum di Indonesia. Namun, melalui Peninjauan Kembali, hukumannya dipangkas menjadi 12 tahun 6 bulan. Dengan perhitungan remisi serta aturan dua pertiga masa tahanan, Setnov akhirnya mengantongi hak bebas bersyarat pada 16 Agustus 2025.
Kakanwil Ditjen Pemasyarakatan Jawa Barat, Kusnali, menegaskan bahwa bebasnya Setnov bukan hadiah, melainkan hak narapidana yang diproses sesuai aturan. “Setelah PK dikabulkan, vonis 15 tahun menjadi 12 tahun 6 bulan. Maka dihitung dua per tiganya, Setnov berhak bebas bersyarat pada 16 Agustus 2025,” jelasnya.
Bahkan Menteri Imigrasi dan Pemasyarakatan (Imipas) Agus Andrianto turut menyinggung bahwa seharusnya pembebasan itu dilakukan lebih cepat, yakni 25 Juli 2025, namun baru bisa dijalankan pertengahan Agustus. “Semua sudah sesuai asesmen, justru agak terlambat dari seharusnya,” ujarnya di Kompleks Istana Kepresidenan.
Kabar bebasnya Setnov, apalagi dengan kemungkinan ia bisa kembali duduk di kursi kekuasaan mulai 2031, memantik reaksi keras dari publik. Bagi sebagian besar masyarakat, kehadiran kembali sosok yang identik dengan skandal korupsi terbesar di negeri ini dianggap sebagai ironi di tengah upaya bangsa membangun demokrasi yang bersih.
“Ini preseden buruk. Bayangkan, seorang terpidana mega korupsi bisa kembali menjadi pejabat publik hanya dalam waktu enam tahun ke depan. Bagaimana publik bisa percaya dengan sistem hukum yang seakan memberi karpet merah kepada koruptor?” tegas seorang pengamat hukum pidana, yang enggan disebutkan namanya.
Gelombang kritik juga muncul dimedia sosial. Warganet menyoroti betapa lemahnya sanksi sosial bagi koruptor kelas kakap. “Negara ini seakan mudah lupa. Hari ini dia keluar penjara, esok mungkin kembali kepanggung politik. Padahal rakyat masih menanggung luka akibat korupsi yang merugikan triliunan rupiah,” tulis salah satu komentar di platform X.
Nama Setya Novanto sudah lama menjadi simbol satire politik Indonesia. Dari kasus “Papa Minta Saham”, drama sakit di kursi persidangan, hingga “tragedi tiang listrik” yang membuatnya jadi bahan meme nasional, perjalanan Setnov tak pernah lepas dari sorotan publik. Kini, setelah kembali bebas, spekulasi tentang langkah politiknya dimasa depan kian liar.
Meski secara hukum ia baru bisa kembali menduduki jabatan publik pada 2031, publik bertanya-tanya: apakah masih ada partai politik yang berani mengusungnya? Ataukah Setnov akan memilih jalur lain untuk kembali berkiprah dipanggung kekuasaan?
Satu hal yang pasti, kembalinya Setya Novanto kearena politik akan menjadi ujian besar bagi moralitas bangsa, integritas partai politik, serta komitmen negara dalam memberantas korupsi.
Sejarah menunjukkan, bangsa yang mudah melupakan kesalahan besar masa lalu rentan mengulanginya. Kasus Setya Novanto bukan sekadar soal bebas bersyarat atau hitung-hitungan masa tahanan. Ini tentang wajah demokrasi Indonesia: apakah kita benar-benar serius menutup pintu bagi koruptor, atau justru memberi jalan agar mereka bisa kembali merajalela dipanggung kekuasaan.
Sosok Setya Novanto mungkin bebas hari ini, namun bayang-bayang gelap kasus e-KTP akan terus menghantui perjalanan bangsa. Tahun 2031 masih enam tahun lagi, tetapi pertanyaan besar sudah menganga: akankah publik menerima kembalinya seorang terpidana mega korupsi kekursi pejabat publik? (Sumber: CNNIndonesia)