INformasinasional.com, LANGKAT – Proses hukum kasus perusakan kawasan konservasi Suaka Margasatwa Karang Gading Langkat Timur Laut (SMKG LTL) kembali mencoreng wajah penegakan hukum di Indonesia. Dua terdakwa utama kasus alih fungsi hutan lindung menjadi kebun sawit ilegal, Alexander Halim alias Akuang dan Imran SPdI, justru masih bebas berkeliaran. Sementara sidang perkara yang menjerat keduanya di Pengadilan Tipikor Medan, lagi-lagi ditunda untuk ketiga kalinya.
Penundaan sidang ini menjadi alarm serius. Sejak awal Juni 2025, persidangan telah urung digelar tiga kali berturut-turut: Senin (2/6/2025), Kamis (5/6/2025), dan kembali Senin (9/6/2025). Kali ini, Jaksa Penuntut Umum (JPU) berdalih bahwa surat tuntutan belum turun dari Kejaksaan Agung.
Ketua Majelis Hakim M Nazir SH MH, dengan tegas menegur JPU di ruang Cakra 1 Utama PN Medan. “Ini sudah ketiga kalinya ditunda. Jangan sampai media menilai ada sesuatu yang ditutup-tutupi,” kata Nazir, didampingi hakim anggota Zufida Hanum dan Poster Sitorus.
Penyitaan Hanya di Atas Kertas, Sawit Tetap Panen
Ironisnya, meski lahan telah disita negara sejak 2022, aktivitas panen tandan buah segar (TBS) tetap berlangsung lancar. Investigasi INformasinasional.com pada 4 Juni 2025 menemukan, sawit-sawit milik Akuang masih dipanen di bawah pengelolaan Koperasi Serba Usaha Sinar Tani Makmur (STM), yang dipimpin oleh Rajali alias Agam (orang kepercayaan Akuang).
[irp posts=”41114″ ]
“Ini bukan lagi pembiaran, ini pelecehan terhadap negara. Barang bukti negara masih diperas keuntungannya oleh terdakwa yang belum ditahan,” kecam Muhammad Ramlan, tokoh masyarakat yang juga aktivis lingkungan Forum Hijau Sumut.
Padahal, papan peringatan penyitaan dari Kejaksaan Tinggi Sumut jelas terpampang di lokasi. Namun, aktivitas tetap berlangsung, bahkan dikawal oknum berseragam sipil yang diduga aparat.
Dalam sidang sebelumnya (24 Februari 2025), dua pakar lingkungan – Prof Dr Basuki Wasis dan Prof Dr Bambang Hero Saharjo, menjelaskan secara gamblang bahwa telah terjadi kerusakan lingkungan berat akibat konversi kawasan mangrove menjadi kebun sawit.
Total kerugian akibat perusakan lingkungan ini ditaksir mencapai Rp 787,17 miliar, yang terdiri dari, kerugian ekologis Rp 436,63 miliar. Kerugian ekonomi lingkungan Rp 339,15 miliar. Biaya pemulihan lingkungan Rp 9,26 miliar. Dan biaya revegetasi Rp 2,11 miliar
Modus Kelompok Tani Fiktif, Surat Palsu, dan Aparat Terlibat
Luas lahan yang diklaim telah dialihfungsikan mencapai lebih dari 210 hektare di Desa Tapak Kuda, Kecamatan Tanjung Pura. Berdasarkan penelusuran, sejak awal 2000-an, lahan ini mulai digarap oleh kelompok tani fiktif yang disebut-sebut sebagai kaki tangan mafia tanah. Legalitas lahan diperkuat lewat manipulasi dokumen oleh oknum kepala desa dan pejabat lokal.
Salah satu terdakwa, Imran SPdI, merupakan kepala desa aktif Tapak Kuda. Ia diduga membuat surat-surat kependudukan dan domisili palsu yang memperkuat klaim kepemilikan Akuang atas tanah konservasi. Namun, dalam pembelaannya, Imran berdalih hanya menjalankan prosedur administratif biasa.
“Saya hanya bikin resi koperasi. Waktu itu saya belum jadi kepala desa saat transaksi tanah terjadi,” ujarnya saat diwawancarai wartawan.
Alexander Halim alias Akuang, sosok sentral dalam perkara ini, hingga kini belum juga ditahan. Alasannya? Faktor usia. Pengacaranya, Fauzi Nasution, mengklaim bahwa kliennya menderita gangguan kesehatan dan terlalu tua untuk ditahan.
“Kalau tua dijadikan alasan, berapa umur hutan mangrove yang telah dibabatnya habis?” sindir Ramlan, warga yang juga mantan nelayan.
Fakta dilapangan justru menunjukkan bahwa kebun sawit milik Akuang beroperasi tanpa hambatan. Hasil panen langsung disetor ke koperasi yang dia kendalikan. Ini menimbulkan pertanyaan besar: siapa sebenarnya yang mengendalikan hukum?

SMKG LTL dulunya adalah rumah bagi lutung hitam, bangau bluwok, dan elang laut. Kini, suara burung tergantikan oleh dengungan mesin pemanen dan aroma tajam TBS. Abrasi pantai semakin parah, kanal tertutup sedimentasi, dan masyarakat kehilangan akses ke laut.
“Anak-anak kami dulu lihat bangau bluwok di belakang rumah. Sekarang truk sawit yang lewat,” ucap warga Desa Pantai Cermin getir.
Penundaan sidang, ketidaksiapan jaksa, pembiaran panen, dan tak kunjung ditahannya tersangka utama menggambarkan kondisi memprihatinkan hukum terlihat tumpul terhadap pelaku kejahatan lingkungan kelas kakap.
Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) dan Kejatisu mengaku telah memberi peringatan. Namun hingga kini, kegiatan panen tetap berjalan. “Kami sudah minta aktivitas dihentikan, namun tetap dilakukan secara diam-diam,” ujar Kasi II BKSDA Stabat, Boby.
Sementara itu, Kasipenkum Kejatisu, Andre Wanda Ginting, menyebut proses hukum masih berlangsung dan menyerahkan sepenuhnya kepada majelis hakim.
Kasus ini adalah simbol dari betapa lemahnya negara menghadapi kekuatan uang dan jaringan mafia tanah. Jika kawasan konservasi saja bisa direbut, dipanen, dan pelakunya tidak tersentuh hukum, maka jelas: hutan kita sedang dalam bahaya besar.
Publik menuntut: usut tuntas kasus ini, tahan pelaku utama, pulihkan kawasan hutan, dan tegakkan hukum tanpa pandang bulu.(MisnoAdi)