INformasinasional.com, SAUMLAKI – Suasana khidmat Ibadah Minggu di Gereja Bethel Indonesia (GBI) Miracle of the Lord in Solafide (MILOS), Kecamatan Tanimbar Selatan, Minggu (23/8/2025), mendadak berbeda. Di tengah doa dan lantunan pujian jemaat, hadir agenda tambahan yang tak biasa: sosialisasi kanker dan tumor yang digelar Yayasan Sosialisasi Kanker Indonesia (YSKI).
Mengusung misi mulia meningkatkan kesadaran masyarakat tentang bahaya kanker, YSKI menekankan pentingnya deteksi dini serta gaya hidup sehat. Namun, agenda yang semula bernuansa edukatif itu juga disertai dengan promosi produk herbal bernama Zedomax, lengkap dengan tawaran diskon hingga 50 persen.
Bagi sebagian jemaat, penyuluhan ini memberi pencerahan baru. “Saya baru tahu betapa pentingnya deteksi dini kanker,” ujar JK, salah seorang peserta. Ia bahkan merasa beruntung karena bisa mendapatkan pengetahuan sekaligus kesempatan membeli produk herbal dengan harga miring.
Namun, tak sedikit pula yang memilih bersikap waspada. “Saya lebih baik konsultasi dulu ke dokter sebelum mencoba produk ini,” tutur seorang jemaat lain yang enggan disebut namanya.
Keragaman respons ini menegaskan adanya dilema: sosialisasi kesehatan memang penting, tetapi ketika dibarengi dengan promosi produk dalam ruang ibadah, publik pun bertanya-tanya soal etika dan batasan.
Produk Zedomax disebut-sebut telah terdaftar di BPOM RI dengan nomor TR183317051. Komposisinya meliputi temu putih, keladi tikus, dan benalu teh—tumbuhan yang kerap dikaitkan dengan khasiat antioksidan serta anti-inflamasi.
Di brosur resmi, klaimnya terdengar meyakinkan: membantu memelihara kesehatan, termasuk bagi penderita kanker, tumor, gastritis, sinusitis, hingga nyeri sendi. Namun, sejauh ini, belum ada penelitian ilmiah berskala internasional yang membuktikan efektivitasnya secara klinis dalam mengobati kanker.
“Herbal seperti ini bisa saja mendukung kesehatan, tetapi jangan sampai jemaat menganggapnya pengganti kemoterapi atau operasi. Itu sangat berisiko,” bisik seorang jemaat kepada wartawan.
Kegiatan semacam ini memunculkan diskusi lebih luas tentang etika. Edukasi kanker jelas sangat mendesak, apalagi di wilayah yang akses informasinya masih terbatas. Namun, ketika penyuluhan kesehatan bercampur dengan promosi produk, dikhawatirkan pesan yang diterima masyarakat menjadi kabur.
BPOM sendiri telah menegaskan, obat tradisional hanya boleh diklaim sebagai pemelihara kesehatan, bukan sebagai penyembuh penyakit berat seperti kanker.
“Edukasi kesehatan itu wajib, tetapi jangan sampai dibalut dengan iming-iming yang menyesatkan. Kalau mau menawarkan produk, harus jelas dan transparan,” ujar salah seorang jemaat lain yang berharap kegiatan serupa lebih akuntabel di masa depan.
Fenomena di Saumlaki ini menjadi potret nyata bagaimana semangat edukasi bisa berjalan seiring dengan promosi produk. Kehadiran Zedomax memberi opsi tambahan bagi masyarakat, meski efektivitasnya masih perlu dikaji lebih jauh.
Pesan utama bagi jemaat dan masyarakat luas jelas: jangan terjebak klaim instan. Herbal bisa menjadi pendukung, tetapi tidak boleh menggantikan terapi medis. Konsultasi dengan tenaga kesehatan tetap menjadi langkah utama dalam menghadapi penyakit serius seperti kanker.
(Laporan: Johanis Kopong)