INFormasinasional.com, LANGKAT – Siang itu, Jumat 6 September 2025, udara Pantai Cermin terasa berat. Warga berkumpul diteras rumah seorang tokoh kampung, membicarakan hal yang selama ini hanya dibisikkan diwarung kopi, kemana sebenarnya lari uang dana desa mereka?
Satu per satu suara lirih berubah menjadi tekad bulat. Mereka sepakat, sudah cukup diam. Kali ini, suara rakyat harus menggema kemeja Inspektorat. Dugaan mark-up dana desa tak bisa lagi disimpan.
Data yang terkumpul mencolok bagai luka terbuka. Tahun anggaran 2024, tiga proyek pembangunan sarana air bersih dan WC umum menelan angka fantastis. Namun dilapangan, yang berdiri hanyalah bangunan setengah jadi dengan mutu seadanya.
- Dusun Getek II: dianggarkan Rp90 juta, wujudnya tak lebih dari Rp45 juta.
- Dusun Getek I: sama, Rp90 juta, realisasinya hanya separuh.
- Dusun Sei Rebat: Rp60 juta, tapi warga hanya melihat bangunan senilai Rp30 juta.
Kongkalikong angka ini bukan sekadar soal ketidaksesuaian laporan. Ini soal hidup dan martabat warga. Bagi mereka, air bersih dan WC umum bukanlah kemewahan, melainkan kebutuhan paling dasar.
“Kalau uangnya benar dipakai, seharusnya kami tak lagi antre air di sumur yang keruh,” kata Mhd, Erwin Tanjung, salah seorang pengadu, dengan nada getir.
Tepat 3 September 2025, empat warga Desa Pantai Cermin, yakni, Basuki Rahmad, Mhd Erwin Tanjung, Indra Syahputra, dan Ahmad Fadli, melangkah berani. Mereka mengajukan pengaduan resmi ke Inspektorat Kabupaten Langkat. Surat bernomor 01/Peng-Masy/PC/IX/2025 itu berjudul lugas “Mark-up Pembangunan Desa.”
“Ini bukan soal siapa yang kita lawan. Ini soal kebenaran,” ujar Basuki kepada wartawan. “Kami minta Inspektorat audit tuntas dana desa dan periksa kepala desa beserta perangkatnya.”
Suara mereka bergetar, tapi tidak gentar. Mereka tahu risikonya, tekanan, cibiran, bahkan ancaman. Namun bagi empat warga ini, diam berarti mengkhianati tetangga sendiri.
Inspektorat Kabupaten Langkat membenarkan sudah menerima laporan warga. Namun jawaban pejabatnya terdengar bagai pintu besi yang digembok rapat.
“Benar ada surat masuk,” kata seorang pejabat melalui WhatsApp. “Selebihnya saya tidak tahu isi detailnya.”
Kalimat yang dingin, tanpa komitmen, tanpa janji. Warga hanya bisa menatap satu sama lain, apakah laporan ini benar-benar akan digarap, atau hanya ditumpuk dalam arsip berdebu?
Ketua Tim Pelaksana Kegiatan (TPK), Usman alias Yong Man, tak mau menanggung beban sendiri. Ia mengaku hanya pion dalam proyek itu.
“Saya cuma kerjakan tugas dari kepala desa. Urus belanja kepanglong material si Am. Selebihnya yang bayar kepala desa,” ujarnya.
Pernyataan itu bagai korek api yang dilempar kejerami kering. Semua tanda panah kini mengarah ke satu nama: Muhammad Taufik, AMK, Kepala Desa Pantai Cermin.
Wartawan INformasinasional.com mencoba mengonfirmasi Taufik melalui WhatsApp. Pesan itu terbaca, tanda centang biru jelas terlihat, tapi tak pernah dibalas hingga berita ini diturunkan.
Diamnya sang kades justru menambah pekat aroma penyimpangan. Warga bertanya-tanya: jika tak bersalah, mengapa memilih bungkam?
Bagi warga Pantai Cermin, laporan ini bukan sekadar formalitas. Mereka menaruh harapan agar Inspektorat berani menyingkap tabir gelap dana desa. Bagi mereka, pembangunan bukan soal angka di APBDes, melainkan tentang air bersih yang mengalir, WC umum yang layak, dan martabat kampung yang terjaga.
“Kalau uang desa bisa digelapkan sesuka hati, apa jadinya kami?” tanya Ahmad Fadli, lirih. “Ini uang rakyat. Jangan dikorupsi.”
Kini, masyarakat menunggu. Akankah Inspektorat benar-benar turun tangan? Ataukah laporan ini hanya akan menjadi catatan yang berkarat dilaci birokrasi, ditelan oleh waktu?
Pantai Cermin menyimpan satu pertanyaan yang menohok, apakah hukum dinegeri ini berpihak pada rakyat kecil, atau sekali lagi tunduk pada kuasa anggaran dan jabatan?
(Laporan: Ramlan)