INformasinasional.com, Kota Solok — Bara konflik agraria dijantung Kota Solok kembali menyala. Untuk ketiga kalinya, Kaum Datuak Rajo Langik menutup total akses jalan menuju Stadion Marahaddin, Kelurahan Laing. Aksi ini bukan sekadar protes jalanan, melainkan tudingan telanjang terhadap ingkarnya janji Pemerintah Kota Solok atas putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum.
Pemicu kemarahan itu terang-benderang. Putusan Pengadilan Negeri Kota Solok Nomor 14/Pdt.G/2023/PN.SLK. Dalam amar putusan, Pemko Solok diwajibkan membayar ganti kerugian tanah milik Kaum Datuak Rajo Langik paling lambat melalui APBD 2024, dengan nilai ditentukan appraisal, setelah kelengkapan alas hak dan pengukuran ulang oleh BPN dipenuhi.
Semua syarat itu, kata pihak kaum, telah mereka penuhi. Namun, negara berhenti dipintu birokrasi.
BPN Menolak Ukur, Dalih Fasum
Kuasa kaum, Yasril Datuak Ampanglimo, menyebut kebuntuan bermula saat BPN menolak melakukan pengukuran dengan alasan objek perkara telah menjadi fasilitas umum (fasum). Penolakan itu merujuk surat BPN bernomor IP.02.02/…13.72/II/2024. Yang mengejutkan, pada poin 4 surat tersebut dinyatakan bahwa objek perkara telah diganti rugi Pemko Solok kepada Azis Miin melalui jual beli.
“Kapan tanah ini kami jual ke Azis Miin? Apa buktinya?” kata Yasril. “Pemilik sahnya Kaum Datuak Rajo Langik. Kalau benar ada jual beli, tunjukkan akta dan alas haknya.”
Yasril menuturkan kronologi, tanah awalnya dijual kepada Azis Miin untuk perumahan. Demi akses, kaum memberi siriah pinang, jalan selebar sekitar 3 meter dan panjang 120 meter. Proyek perumahan batal. Pada 2017, Azis Miin menjual lahan ke Pemko Solok untuk sarana olahraga. Stadion Marahaddin kemudian berdiri, menyedot anggaran sekitar Rp25 miliar dalam dua tahap.
Masalah muncul ketika akses jalan yang diberikan untuk perumahan dipakai untuk stadion.
Kaum memblokir. Negosiasi dilakukan. Janji ganti rugi dilontarkan. Blokir dibuka. Janji tak ditepati. Blokir kembali. Pada tahap proyek berikutnya, pembukaan paksa dilakukan, bahkan, kata Yasril, dengan pendekatan anarkis. Kekecewaan memuncak. Gugatan perdata diajukan. Putusan pengadilan keluar. Namun eksekusi tersandera.
Dalam gugatan lanjutan yang melibatkan Pemko dan BPN, mediasi sempat membuka celah, BPN bersedia mengukur dengan syarat Pemko menerbitkan surat pernyataan bahwa objek perkara belum pernah diganti rugi kepada siapa pun. Syarat itu tak pernah dipenuhi. Ganti rugi kembali buntu. Gugatan dicabut agar mediasi tak berlarut. Blokade pun kembali dipasang.
Investigasi lapangan menemukan kejanggalan lain. Setelah pengukuran manual oleh pemilik tanah, akses jalan berubah drastis, dari ±3 meter menjadi ±14 meter, dari 120 meter menjadi 124 meter. Tanpa ganti rugi yang jelas, perubahan ini dinilai sebagai perampasan terselubung berlindung dibalik label fasum.
“Ini bukan sekadar kelalaian. Ada indikasi kesengajaan mengulur waktu,” ujar Yasril.
“Mengapa Pemko membayar kepihak lain, sementara pemilik sahnya kaum? Siapa bermain dibalik status fasum ini?”
“Marwah Kaum Dipertaruhkan” Nada perlawanan mengeras. Kaum Datuak Rajo Langik menegaskan tak akan membuka blokade sebelum ada kepastian hukum dan pembayaran ganti rugi.
“Kami kuasai kembali harta kami. Demi menjaga marwah kaum, nyawa kami taruhannya,” kata Yasril tegas.
Kini, Stadion Marahaddin berdiri megah, namun aksesnya terkunci oleh sengketa yang belum juga dituntaskan. Negara melalui Pemko dan BPN dituding mengabaikan putusan pengadilan. Publik menunggu: siapa bertanggung jawab, dan kapan hukum benar-benar ditegakkan?
Reporter: Yudistira






Discussion about this post