INformasinasional.com – Dibalik jeruji besi Polda Metro Jaya, perjuangan seorang aktivis muda kini terhenti bukan hanya oleh borgol hukum, tapi juga oleh larangan yang terdengar sepele. Pena dan kertas. Keluarga Direktur Eksekutif Lokataru Foundation, Delpedro Marhaen, meminta agar adik mereka diberi akses alat tulis untuk menyelesaikan tesis yang sudah lama digarap.
“Pedro hanya ingin menyelesaikan tesisnya, bukan mencoret dinding,” kata kakaknya, Delpiero Hegelian, dengan nada getir saat dihubungi wartawan, Jumat (19/9/2025). Menurutnya, polisi menolak memberi akses alat tulis dengan alasan khawatir digunakan untuk hal lain, termasuk mencorat-coret ruang tahanan.
Keluarga bahkan sudah mencoba mengirimkan alat tulis melalui jalur pengiriman barang, tapi ditolak. “Kami rutin menjenguk Pedro. Kondisinya sehat, tapi berat badannya mulai turun,” ujar Delpiero.
Larangan yang tampak sederhana itu justru membuka perdebatan besar, apakah negara boleh memutus hak intelektual seorang tahanan? Apalagi Delpedro bukan kriminal jalanan, melainkan aktivis hak asasi manusia yang dikenal kritis.
Dukungan Mengalir dari Mahasiswa
Sorotan tak berhenti pada keluarga. Siang tadi, mahasiswa dari Front Mahasiswa Nasional (FMN) UI, GMNI UI, Serikat Perempuan Indonesia (SERUNI) UI, hingga Serikat Pekerja Hukum Progresif (SPHP) Jakarta turun gelanggang menyuarakan tuntutan lebih keras, bebaskan Delpedro dan kawan-kawan tanpa syarat.
“Pembebasan segera tanpa syarat seluruh pemegang mandat tuntutan rakyat, demonstrasi dan aktivitas tanpa kecuali diseluruh Indonesia,” tegas pernyataan sikap mereka.
Seruan itu menggema dikampus, jalanan, dan media sosial, seakan mengingatkan publik pada babak-babak kelam ketika mahasiswa dijadikan musuh negara hanya karena bersuara.
Delpedro ditetapkan tersangka bersama lima aktivis lain dalam kasus dugaan penghasutan pada gelombang aksi pembekuan beberapa waktu lalu. Mereka disebut polisi sebagai pengelola akun media sosial yang dituding memantik gelombang demonstrasi, bahkan ada yang dituduh mengunggah tutorial pembuatan molotov.
Nama-nama itu kini tercatat di daftar hitam aparat, Muzaffar Salim, staf Lokataru dan admin @blokpolitikpelajar; Syahdan Husein dari @gejayanmemanggil; Khariq Anhar dari @AliansiMahasiswaPenggugat; RAP, yang disebut mengatur kurir lapangan sekaligus mengunggah tutorial molotov, dan Figha Lesmana, admin TikTok @fighaaaaa.
Namun bagi para mahasiswa dan pegiat HAM, tudingan itu hanyalah cara membungkam kritik. “Delpedro bukan kriminal, ia pemikir yang sedang menuntaskan tesis. Bagaimana negara bisa takut pada selembar kertas dan sebatang pena?” kata seorang mahasiswa dalam orasi di depan kampus UI.
Larangan alat tulis bagi tahanan, apakah menjadi simbol, negara tak hanya mengurung tubuh, dan apakah ingin memenjarakan pikiran ?*
Discussion about this post