INformasinasional.com – Dhaka berubah menjadi tungku politik panas. Senin (17/11), diruang sidang yang sesak, pengadilan Bangladesh mengetukkan palu yang mengguncang wajah demokrasi negeri itu: mantan Perdana Menteri Sheikh Hasina resmi divonis mati atas dakwaan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Hakim Golam Mortuza Mozumder dengan suara tenang yang kontras dengan suasana yang bergetar membacakan putusan yang langsung memecah keheningan:
“Hasina dinyatakan bersalah atas tiga dakwaan… dan dijatuhi satu hukuman, hukuman mati.”
Ruangan sontak bergemuruh. Sebagian terhenyak, sebagian lagi menahan napas, dan sisanya menyambut putusan dengan sorak kelegaan. Diluar gedung, ribuan warga memadati area, menunggu kabar yang mereka yakin akan dikenang puluhan tahun kedepan.
Sheikh Hasina, yang kabur ke India sejak 2024, diadili tanpa kehadirannya. Tetapi absennya sang mantan PM tidak mengurangi panasnya atmosfer. Nama dan rekam jejaknya justru menjadi “hantu besar” yang membayangi setiap sesi persidangan.
Tiga dakwaan berat yang menjeratnya, yakni,
- Penghasutan,
- Perintah untuk membunuh,
- Tidak mencegah kekejaman aparat.
Dalam tuntutannya, ketua jaksa Tajul Islam bahkan melontarkan pernyataan yang langsung menjadi kutipan paling terkenal sepanjang proses ini. “Untuk satu pembunuhan, satu hukuman mati. Untuk 1.400 pembunuhan? Dia pantas dihukum mati 1.400 kali.”
Tuduhan itu merujuk pada data PBB, 1.400 orang tewas dalam aksi protes besar yang dipimpin mahasiswa pada Juli—Agustus 2024, tragedi terburuk dalam sejarah politik Bangladesh modern.
Selama setahun terakhir, Hasina menolak semua panggilan pengadilan untuk kembali ke Dhaka. Alih-alih menghadapi dakwaan, ia justru bersembunyi dibalik tembok diplomasi India. Tetapi keputusan pengadilan hari ini memotong semua ruang kompromi.
Bagi para keluarga korban, ini adalah jeda keadilan setelah penantian panjang.
Bagi para pendukung Hasina, ini adalah pukulan telak yang mereka sebut sebagai “eksekusi politik”.
Para analis menyebut putusan mati ini sebagai “guncangan terbesar Bangladesh sejak kemerdekaan”. Negara itu kini berdiri ditepi jurang ketidakpastian, antara reformasi atau kekacauan politik baru.
Vonis mati ini bukan sekadar putusan hukum. Ini adalah penanda retaknya dinasti politik, babak jatuhnya seorang pemimpin yang pernah memegang negara dalam genggamannya, dan tanda tanya besar tentang arah masa depan Bangladesh.
Sheikh Hasina mungkin jauh di India.
Tapi bayangannya masih tegak, membelah Dhaka, memecah masyarakat, dan menahan napas dunia.
Bangladesh kini menunggu: apakah ini titik akhir… atau awal dari badai yang lebih besar? (Misn’t)






Discussion about this post