INformasinasional.com, ACEH TAMIANG — Ditengah kabupaten yang seolah berubah menjadi lautan cokelat, komunitas pecinta mobil lawas Vitara Escudo Sidekick (VESCommunity) Aceh Tamiang menyampaikan terima kasih kepada Relawan Bulan Sabit Merah Indonesia (BSMI) yang datang jauh dari Kalimantan. Para relawan itu hadir seperti kilatan cahaya ditengah gelapnya bencana, membawa bantuan pangan untuk anggota VES yang menjadi korban banjir dan kebakaran.

“Terima kasih kepada Om-Om BSMI dari Kalimantan yang turun langsung membawa beras dan air untuk member VESCommunity Aceh Tamiang,” ujar Ketua VESCommunity Aceh Tamiang, Om Ade, Minggu (7/12/2025).
Tak banyak kata. Namun ucapan itu terasa lebih lantang dibanding suara sirine yang sempat meraung saat air bah datang.

Banjir Memorakporandakan Aceh Tamiang, 95 Persen Wilayah Tenggelam
Bencana yang menghantam Aceh Tamiang pada 26 November lalu tercatat sebagai banjir paling brutal sepanjang sejarah daerah itu. Wakil Bupati Aceh Tamiang, Ismail, mengibaratkan skala bencana ini sebagai “tsunami tanpa gelombang laut”.
Dan ia tak berlebihan.
“Seluruh wilayah Aceh Tamiang itu 95 persen tergenang banjir,” kata Ismail dalam siaran Sapa Indonesia Pagi Kompas TV (6/12/2025).
Dari 216 desa di 12 kecamatan, 206 desa luluh lantak. Lebih dari setengah kabupaten berubah menjadi daratan becek yang ditinggalkan oleh arus yang mengamuk.
Korban jiwa mencapai 52 orang. Korban hilang? Pemerintah daerah belum berani menyebut angka, akses terputus, laporan simpang siur, dan beberapa desa bahkan tak bisa ditembus.
Disektor kesehatan, kehancuran tak kalah memilukan. RSUD Muda Sedia, pusat layanan kesehatan kabupaten lumpuh total. Semua peralatan medis rusak. Obat-obatan hanyut. Bahkan para tenaga medis tak luput menjadi korban banjir.
“Rumah sakit kami habis. Tidak ada satu pun alat medis yang bisa digunakan lagi,” ujar Ismail dengan nada getir.
PLN akhirnya mengerahkan genset darurat dari Langsa untuk menyalakan kembali sebagian ruang RSUD, setidaknya agar daerah itu punya titik harapan, meski kecil.
Lebih dari 70 persen warga mengungsi ketitik-titik penampungan yang sesak. Banyak yang akhirnya kembali ke rumah mereka, bukan untuk tinggal, tapi untuk melihat bangunan yang kini hanya tinggal kenangan.
Lantai dan perabot terbenam lumpur setinggi 50–70 sentimeter, menyisakan pemandangan seperti zona perang.
Dibeberapa kecamatan, air yang sempat menghanyutkan kendaraan, ternak, hingga rumah-rumah warga meninggalkan kerusakan yang sulit dicerna.
“Ada satu desa hilang total. Ribuan rumah hanyut. Mobil dan motor berputar terbawa arus seperti mainan,” kata Ismail.
BSMI Datang, Komunitas Bergerak
Dalam situasi kacau-balau, kehadiran relawan BSMI membawa napas lega. Mereka tak hanya datang membawa paket pangan, tetapi juga menembus area yang belum tersentuh bantuan. Bagi komunitas VES, bantuan itu menjadi penegas bahwa solidaritas tak pernah mengenal sekat.
Beras dan air mineral yang dibawa relawan menjadi “penolong darurat” ketika banyak dapur warga tak lagi bisa digunakan.
Banjir bandang kali ini tak hanya memporak-porandakan bangunan, tapi juga memukul psikologis masyarakat. Dengan satu desa hilang, ribuan rumah hanyut, fasilitas kesehatan lumpuh, dan logistik tak kunjung stabil, Aceh Tamiang berada dalam titik terendahnya.
Namun diantara reruntuhan itu, gerakan solidaritas dari relawan kemanusiaan hingga komunitas otomotif menunjukkan bahwa kemanusiaan tak pernah ikut tenggelam.(Misno)





Discussion about this post