INformasinasional.com, BULUKUMBA – Lubang raksasa menganga di Desa Ara, Kecamatan Bontobahari, bukan sekadar bekas galian pasir dan batu (sirtu). Ia adalah jejak skandal tambang ilegal yang ditinggalkan, saksi bisu betapa kuasa bisa melumpuhkan hukum, dan bom waktu yang siap meledak menghantam keselamatan warga.
Satu hektare tanah dirobek-robek, ditinggalkan tanpa reklamasi, tanpa papan peringatan, tanpa pagar pengaman. Lubang itu kini menjadi kubangan maut. “Dulu beroperasi terang-terangan tanpa izin, setelah warga ribut baru berhenti. Tapi lihat hasilnya, ditinggalkan begitu saja,” kata Syahrul, seorang aktivis, Jumat (5/9/2025).
Namun, persoalan ini bukan sekadar tentang tanah yang digali. Bisik-bisik warga menyeret nama Kepala Desa Ara, H Amiruddin Rasyid, sebagai pemilik lahan. Dugaan itu menyulut amarah publik. Apakah tambang ilegal bisa berdiri karena dilindungi kuasa lokal?
Aktivis lingkungan, Syahrul Gempark, tak menahan kata-kata. “Ini bukan soal administrasi. Tambang ilegal adalah pidana. UU Minerba tegas, lima tahun penjara, Rp100 miliar denda. Ditambah jerat UU Lingkungan Hidup. Kalau aparat diam, berarti ada permainan,” ujar Ketua Komite Konsolidasi Rakyat Bulukumba (KKRB).
Ironisnya, pemerintah daerah tampak lebih memilih bersembunyi dibalik meja birokrasi. Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Bulukumba, A Uke Permatasari, hanya mengakui telah meninjau lokasi dan berkoordinasi dengan camat. Ditanya tindak lanjut, ia bungkam. Camat Bontobahari, Andi Arfan, tak kalah normatif. “Kami menunggu keputusan instansi terkait,” katanya.
Publik justru melihat peta kekuasaan. Pemerintah seolah saling lempar, aparat hukum diam seribu bahasa. Padahal lubang maut Desa Ara jelas menyalahi aturan, jelas membahayakan warga, jelas merusak ekosistem. Air tanah terancam tercemar, flora-fauna tercerabut dari habitatnya, hingga risiko korban jiwa didepan mata.
Pertanyaan pun menggantung, siapa yang melindungi tambang ilegal ini? Apakah benar ada kepala desa di baliknya? Mengapa pemerintah daerah enggan bertindak tegas?
Lubang Desa Ara bukan hanya persoalan lingkungan. Ia adalah simbol bobroknya tata kelola, cermin lemahnya penegakan hukum, dan skandal yang membusuk dijantung Bulukumba.
Jika negara terus membiarkan, jangan salahkan rakyat bila suatu hari lubang itu menelan korban, dan kepercayaan pada pemerintah ikut terkubur didalamnya.
(Laporan: Sapriaris)