Informasinasional.id – JAKARTA. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) mencetak defisit yang jauh dari perkiraan awal jelang penutupan tahun 2022 ini. Sampai dengan 14 Desember 2022, total defisit postur APBN 2022 mencapai Rp 237,7 triliun atau 1,22% dari PDB.
Sementara itu, jika dihitung per 30 November, defisitnya mencapai 1,21% terhadap PDB atau Rp 236,9 triliun.
“Defisit ini jauh lebih kecil dari yang direncanakan dari Perpres 98, yaitu Rp 840,2 triliun dan jauh lebih kecil dibandingkan defisit tahun lalu,” tegas Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam konferensi pers APBN KITA Edisi November 2022, dikutip Rabu (21/12/2022).
Tahun lalu, menurut Sri Mulyani, angka defisit mencapai 3,64% atau Rp 617,4 triliun. Lebih lanjut, di dalam Perpres 98/2022, defisit APBN 2022 ditetapkan 4,85% atau Rp 868 triliun. Namun, angka ini direvisi turun menjadi 4,5% atau Rp 840,2 triliun.
Sri Mulyani memandang defisit APBN yang menurun dari 3,64% menjadi 1,22% dari PDB mengambarkan dinamika yang konsolidasi fiskal yang cepat.
“Pendapatan negara naik 36,9%, jadi defisit kita turun secara drastis,” ujarnya.
Dari sisi pendapatan negara, sampai dengan akhir 14 Desember 2022 tercatat sebesar Rp2.337,5 triliun, sukses melampaui target APBN 2022 dalam Perpres 98/2022 sebesar Rp2.266,2 triliun.
Penyumbang terbesar salah satunya adalah penerimaan pajak per 14 Desember 2022 yang mencapai Rp1.634,36 triliun atau naik 41,9%, dibandingkan tahun lalu Rp1.151,5 triliun.
Bahkan, penerimaan pajak telah melampaui target sebesar 110,06% dari target Perpres 98. Penerimaan ini cukup tinggi didorong oleh sektor pertambangan, akibat adanya booming harga komoditas.
“Tahun lalu terjadi booming komoditas dan berlangsung terus hingga hari ini sehingga penerimaan pajak tumbuhnya tinggi sekali,” tegasnya.
CNBC melansir, Direktur CELIOS Bhima Yudhistira menilai defisit yang rendah ini lebih disebabkan durian runtuh atau windfall komoditas yang berada diluar kendali pemerintah.
“Sebenarnya tanpa extra effort dalam penerimaan negara khususnya PNBP memang Indonesia mendapat limpahan bonanza komoditas. Jadi tidak bisa disebut prestasi,” ujarnya kepada CNBC Indonesia, Rabu (21/12/2022).
Bhima pun menyoroti siklus belanja pemerintah yang bermasalah, terutama serapan pemerintah daerah.
“Masih banyak pemda terlambat serap anggaran dan parkir dana di perbankan. Kemudian dari belanja pemerintah pusat serapannya rendah,” katanya.
Dia pun mencurigai adanya upaya menabung Silpa, karena antisipasi sulitnya cari pembiayaan di pasar surat utang tahun depan. Hal ini sejalan dengan normalisasi defisit anggaran ke level di bawah 3% pada tahun depan di tengah kondisi ketidakpastian global yang tinggi.
Sementara itu, Bahana Sekuritas mengungkapkan lambannya belanja pemerintah terutama disebabkan oleh transisi kepemimpinan di tingkat daerah, karena pejabat yang ditunjuk oleh pemerintah pusat baru saja menjabat sebagai gubernur, bupati, dan walikota untuk mengantisipasi pemilihan umum serentak 2024.
“Pada Oktober-November atau kuartal IV-2022, belanja di tingkat daerah tercatat turun 50,3% (yoy) menjadi Rp 84,3 triliun dari Rp 169,5 triliun pada periode yang sama tahun lalu,” papar Kepala Ekonom Bahana Sekuritas Putera Satria Sambijantoro dan tim.(
Bahana pun memperkirakan defisit fiskal pada akhir tahun 2022 dapat mencapai 2,3-2,4% dari PDB, sementara dana yang tidak terpakai (Silpa) mungkin mencapai Rp 270 triliun.
Dengan demikian, defisit yang jauh dari proyeksi awal akan memberikan ruang fiskal tambahan untuk pemerintah tahun depan. Dalam sisa dua minggu terakhir tahun ini, Satria melihat pemerintah tampaknya berharap dapat mempercepat alokasi belanja yang belum terealisasi sepenuhnya.
Beberapa anggaran yang akan digelontorkan pemerintah a.l. subsidi dan kompensasi yang belum dibayar, penyelesaian proyek infrastruktur dan pengeluaran penanggulangan bencana alam.(CNBC)
Editor : Misno