INformasinasional.com, Makassar — Ditengah gemerlap lampu panggung Ballroom Hotel Dalton Makassar, suara mungil seorang bocah menggema lembut dalam bahasa Bugis yang khas.
Dengan pakaian menyerupai seekor kuda dan gerak tubuh lincah penuh ekspresi, Ahmad Dihyah Alfian memukau seluruh penonton. Dongeng berjudul “Jarang sibawa Bompo” — kisah kuda dan sahabatnya mengalir dari bibirnya seperti mantra masa kecil yang hidup kembali.
Siswa kelas 5 SD Negeri 58 Tanete, Kecamatan Bulukumpa, Kabupaten Bulukumba ini tampil sebagai peserta Lomba Dongeng pada Festival Tunas Bahasa Ibu (FTBI) 2025 tingkat Sulawesi Selatan dan Barat yang berlangsung pada 3–5 November di Makassar.
Penampilannya yang menghidupkan karakter Jarang Balibi, kuda kecil yang setia dan berani membuat para penonton menjulukinya spontan sebagai “Si Jarang Balibi dari Bulukumba.”
Meski namanya tak masuk daftar juara, penampilan Dihyah tetap membekas di hati banyak orang. Ia menjadi simbol kecil dari semangat besar: menjaga bahasa daerah dan budaya Bugis melalui dongeng.
Perjalanan Dihyah menuju panggung besar FTBI bukanlah hasil instan. Ia menapaki tangga seleksi berjenjang dari tingkat kecamatan, kabupaten, hingga akhirnya melaju kelevel provinsi.
Prestasinya pun mengesankan: Juara 1 Dongeng FTBI tingkat Kecamatan Bulukumpa, Juara 1 tingkat Kabupaten Bulukumba, lalu mewakili daerahnya ketingkat Provinsi Sulselbar bersama rekannya, Abdul Hamid Alifa Nagara, yang juga siswa SD Negeri 58 Tanete.
“Dihyah anak yang tekun dan penuh imajinasi. Setiap kali tampil, dia benar-benar menjiwai ceritanya,” ujar salah satu guru pembimbingnya yang turut mendampingi selama lomba berlangsung.
Bagi Dihyah, dongeng bukan sekadar cerita. Ia adalah panggung ekspresi, tempat ia berbicara dengan logat, gerak, dan intonasi khas Bugis yang memikat.
Ia mengaku berlatih setiap hari menjelang lomba, didampingi guru, teman, dan keluarga yang selalu memberi semangat.
Bakat bercerita Dihyah ternyata tak datang begitu saja. Sejak duduk dikelas 1 SD, ia sudah menjuarai lomba menulis surat untuk Bupati Bulukumba yang diadakan Harian Radar Selatan tahun 2022.
]Sejak itu, langkahnya didunia literasi terus menanjak. Tahun 2025 menjadi puncak capaian luar biasa:
Juara 2 Lomba Bertutur tingkat Kecamatan Bulukumpa
Juara 2 tingkat Kabupaten Bulukumba
Juara 1 Gebyar Literasi Anak oleh Tim
Penggerak PKK Bulukumba
Juara 1 Lomba Deklamasi HUT Proklamasi RI ke-80 se-Kecamatan Bulukumpa.
Namun prestasi terbesar datang dari dunia literasi nasional. Di sela kesibukan sekolah dan mengaji, Dihyah menulis sebuah cerita anak yang kemudian lolos kurasi nasional.
Ia menjadi satu-satunya wakil Sulawesi Selatan yang karyanya diterbitkan dalam buku “Kumpulan Cerita Anak Negeri: Suara dari Penjuru Nusantara”, hasil kolaborasi Yayasan Indonesia Menulis dan SIP Publishing yang resmi diluncurkan November 2025.
Suara Seorang Ibu: Dukungan Tanpa Batas
Dibalik sosok kecil yang percaya diri di atas panggung itu, ada sosok ibu yang selalu mendampingi. Israwati Samad, SE, ibu dari Dihyah, mengaku bahwasannya perjalanan putranya tak lepas dari kerja keras, doa, dan dukungan penuh keluarga.
“Kami tidak pernah menuntut Dihyah harus jadi juara. Kami hanya ingin dia berani tampil dan mencintai bahasa daerahnya. Melihat dia bisa berdiri dipanggung besar membawa nama Bulukumba saja, kami sudah sangat bangga,” tutur Isra dengan mata berkaca-kaca.
Ia mengisahkan, sejak kecil Dihyah memang gemar membaca dan meniru tokoh dalam cerita.
“Kalau dengar dongeng atau baca buku, dia suka menirukan suaranya, bahkan gaya jalannya. Jadi waktu dia bilang mau ikut lomba dongeng, kami langsung dukung. Kami tahu ini cara dia berekspresi,” tambahnya.
Bagi Ibundanya keberanian Dihyah adalah pelajaran penting, bukan hanya untuk anak-anak lain, tapi juga untuk para orang tua.
“Kadang anak-anak punya cara sendiri untuk bersinar. Tugas kita sebagai orang tua hanya menyalakan lentera kecilnya,” ucapnya lembut.
“Jarang Balibi” yang Menyala di Tanete
Kini, bagi masyarakat Tanete, Dihyah bukan sekadar anak berbakat ia adalah simbol semangat baru anak-anak desa.
Ia membuktikan bahwa panggung prestasi tak hanya milik mereka yang lahir dikota besar.
Anak kecil dari Bulukumpa itu telah menyalakan obor kebanggaan: bahwa bahasa daerah dan budaya bisa tetap hidup melalui dongeng, bahkan ditengah arus digital yang kian deras.
“Dihyah itu inspirasi bagi kami semua. Ia menunjukkan kalau anak-anak kampung pun bisa berbicara dipanggung besar,” ujar salah satu warga Tanete yang turut menonton siaran FTBI.
Mungkin Dihyah belum mengangkat piala tahun ini. Namun semangatnya untuk menjaga bahasa ibu dan keberaniannya tampil dipanggung provinsi sudah menjadi kemenangan tersendiri.
Reporter : Sapriaris






Discussion about this post